
NIKEL.CO.ID, 31 Maret 2022-Anggota Komisi VII DPR RI mengaku bingung Kementerian Investasi/BKPM berwenang mencabut IUP perusahaan pertambangan. Sementara kementerian teknis yang membidangi pertambangan adalah Kementerian ESDM.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PAN, Nasir Bahar mempertanyakan kewenangan Kementerian Investasi/BKPM berhak mencabut 2.078 IUP belum termasuk 19 IUP di luar perusahaan pertambangan. Sementara pada Pasal 1 ayat (39) Ketentuan Umum UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan kementerian teknis yang membidangi pertambangan, dalam hal ini Kementerian ESDM.
Nasir mengutarakan, ketika Komisi VII DPR RDPU dengan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), ada perusahaan anggota APNI yang IUP-nya dicabut pada 2 Maret 2022. Tanggal 14 Maret 2022, Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM mengundang mereka untuk melakukan verifikasi atas peringatan ketiga. Tapi, IUP mereka sudah dicabut oleh Menteri Invetasi.
“Artinya, Menteri Investasi tidak mempunyai data dari Menteri ESDM. Kita bingung, apakah UU Cipta Kerja yang mendegradasi kekuatan UU No.3 Tahun 2020. Atau apakah dengan Satgasnya yang berdasarkan Keppres No.1 Tahun 2022. Kita dispute. Sementara APNI tahunya ke Komisi VII, bukan ke Komisi VI DPR—sebagai mitra kerja Kementerian Investasi/BKPM,” tutur Nasir ketika dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2022) sore.
Apalagi, lanjutnya, UU Cipta Kerja belum disosialisasikan, masih dalam proses perubahan, karena statusnya berlaku tapi bersyarat.
Sementara anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Nasir, mempertanyakan pemahaman Kementerian Investasi/BKPM tentang sektor pertambangan.
Muhammad Nasir mengungkapkan mendapat pengaduan dari perusahaan smelter—investasi dari China, yaitu PT. Mikro Metal Perdana yang melakukan kegiatan produksi pengolahan dan pemurnian pertambangan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Perusahaan ini sudah mendapat izin dari Kementerian ESDM, namun ketika sudah mendirikan smelter dan berproduksi dan ingin melakukan pengiriman hasil produksinya tersebut, tiba-tiba izinnya dicabut sementara.
“Perusahaan itu sudah mengeluarkan biaya cukup besar, hampir 2 triliun rupiah, sudah membangun desa, dan mendirikan persyaratan izin berdasarkan ketentuan perundang-undangan,” kata Muhammad Nasir.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Dirjen Minerba, malah diminta untuk menanyakan hal tersebut ke Gubernur Sulawesi Utara. Muhammad Nasir pun mempertanyakan, mengapa yang memutuskan mencabut izin itu atas permintaan gubernur, sementara sekarang semua ketentuan pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat.
Termasuk ia juga mempertanyakan peranan Kementerian Investasi/BKPM yang mempunyai kewenangan mengurus izin dan mencabut IUP.
“Segala teknis dan regulasi ini dari dulu ada di Kementerian ESDM. Ini nomenklatur yang menurut kami tidak masuk akal!” tegasnya.
Direktur Jenderal Minerba, Ridwan Djamaluddin menjelaskan tentang kewenangan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penataan dan Pengelolaan IUP. Menteri Investasi ditunjuk sebagai Ketua Satgas, dan anggotanya antara lain Menteri ESDM, Menteri ATR, dan Menteri LHK.
Namun, Muhammad Nasir kembali interaktif. “Mana lebih tinggi UU No.3 Tahun 2020 dengan Keppres No.1 Tahun 2022. Saya tidak tahu negara ini sekarang mau jalan pakai apa. Kalau Anda menjalankan semua regulasi seperti ini, hancur lah negara ini,” tukasnya.
Ridwan melanjutkan bahwa terkait PT. MMP yang dicabut sementara izinnya, selain ada penolakan dari masyarakat setempat, juga sudah ada keputusan inkrah dari Mahkamah Agung tahun 2016 tentang pencabutan izin PT. MMP. (Syarif/Herkis)