NIKEL.CO.ID, 30 Maret 2023-Pengamat Pertambangan Independen, Steven Brown berpendapat, pemberlakuan pajak emisi karbon pada industri nikel bisa dijadikan salah satu cara untuk mengerem pembangunan pabrik pirometalurgi berteknologi RKEF.
Pemerintah Indonesia ingin menjadi ‘raja’ baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV), minimal nomor tiga dunia pada 2027. Obsesi ini sejalan dengan program green energy yang sedang dibumikan Pemerintah Indonesia. Baterai EV bisa dijadikan salah satu solusi menekan emisi karbon yang banyak dihasilkan dari sisa pembakaran mesin kendaraan konvensional berbasis BBM.
Ketika program green energy ini berjalan, Pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini sedang giat-giatnya membangkitkan industri hilir untuk memberikan nilai tambah komoditas mineral logam. Yang sudah berjalan cukup sukses adalah industri pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel.
Dalam perkembangannya, investor–umumnya PMA—lebih berminat membangun pabrik atau smelter pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit dibandingkan pabrik hidrometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit. Pabrik pirometalurgi mengolah bijih nikel menjadi nikel pig iron (NPI), feronikel, atau nickel matte untuk bahan baku stainless steel. Sedangkan pabrik hidrometalurgi mengolah limonit menjadi MHP, nikel sulfat, untuk selanjutnya sebagai bahan baku katoda baterai EV.
Di sisi lain, sumberdaya dan cadangan terukur bijih nikel di Indonesia lebih banyak limonit dibandingkan saprolit. Berdasarkan data Badan Geologi Indoneisa, cadangan terukur limonit sekitar 3,6 miliar ton, sedangkan saprolit sekitar 900-an juta ton.
Pengamat Pertambangan Independen, Steven Brown berpandangan, lebih diutamakannya pembangunan smelter pirometalurgi di Indonesia untuk produksi stainless steel karena dua faktor. Pertama, teknologi Rotary Klin Electric Furnance (RKEF) sudah matang dan terbukti, dan bisa dibangun dengan jadwal yang sangat singkat.
“Kedua, RKEF yang terintegrasi dengan pabrik stainless steel merupakan cara yang paling murah untuk berproduksi stainless steel,” jelas Steven Brown menjawab pertanyaan nikel.co.id, Kamis (30/3/2023).
Steven Brown mengakui jumlah smelter RKEF sudah cukup banyak di Indonesia, dan hal ini berdampak pada harga NPI, yang akhir-akhir ini cenderung menurun karena oversupply NPI. Oleh karena ini, Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan moratorium pembangunan smelter RKEF.
“Menurut saya, jika memang perkembangan RKEF perlu direm, ini sebaiknya dilakukan dengan memberlakukan pajak emisi karbon pada industri nikel,” sarannya.
Ia menguraikan, pajak karbon akan menjadi disinsentif bagi pembangunan smelter nikel yang polusinya tinggi, dan akan mendorong industri nikel untuk menurunkan emisi.
“Ini sangat penting supaya industri nikel di Indonesia tetap bisa bersaing di pasaran yang sekarang mementingkan produksi bersih. Penghasilan pemerintah dari pajak karbon bisa digunakan untuk memperbaiki pengawasan di industri nikel, yang sangat perlu ditingkatkan seimbang dengan meningkatnya produksi nikel di Indonesia,” paparnya.
Menyoal obsesi Indonesia ingin menjadi ‘raja’ baterai EV nomor tiga dunia, Steven Brown mengutarakan, Indonesia perlu juga melakukan impor lithium dari negara lain, seperti Australia. Indonesia memang memiliki banyak cadangan bijih nikel, khususnya limonit yang diolah menjadi MHP, nikel sulfat, hingga berlanjut sebagai material katoda baterai EV. Namun, Indonesia minim memiliki litihium sebagai bahan baku anoda baterai EV.
“Untuk membangun industri baterai di Indonesia, impor lithium diperlukan,” ujar Steven Brown.
Dirinya menekankan, yang perlu diperhatikan oleh Indonesia yang saat ini menggalakkan program green energy, dengan memperhatikan penerapan good mining practice dan environment social governance (ESG), baik di sektor hulu maupun hilir.
Menurut Steven Brown, transparansi data ESG di bidang nikel masih belum optimal. Karena itu, ada baiknya industri hulu dan hilir menerapkan sistem ESG yang diakui secara internasional, seperti IRMA atau TSM. Hal ini bisa membuka peluang untuk menjual produk nikel dan baterai ke pasar di luar Asia, seperti ke Eropa dan Amerika Utara.
Sejauh pengamatan Steve Brown, di Indonesia belum ada sama sekali produsen nikel di Indonesia yang telah memenuhi ketentuan ESG yang diakui secara internasional. Setiap perusahaan nikel di Indonesia masih bisa meningkatkan kinerja ESG-nya.
“Namun, ada beberapa yang menonjol sebagai pemimpin di bidang ESG, dengan meraih perhargaan seperti Green Proper dari KLHK. Semoga perusahaan-perusahaan ini dapat terus meningkatkan kinerjanya,” harap Steven Brown. (Syarif)