NIKEL.CO.ID, 29 MARET 2023 – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menerangkan maksud pernyataan Presiden Jokowi tentang energi murah, yaitu energi yang tersedia dan terjangkau.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menekankan pentingnya agar Indonesia memiliki sumber energi murah untuk menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Penyediaan energi murah ini dilatarbelakangi dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
“Barangkali bukan energi murah, tetapi energi tersedia dan terjangkau yang dimaksud Presiden Jokowi. Energi tersedia dan terjangkau ini mestinya energi baru terbarukan (EBT), bukan energi fosil,” kata Fahmy kepada nikel.co.id, Rabu (29/3/2023).
Fahmi berpandangan, energi fosil selain energi kotor, juga ketersediannya sudah semakin habis dan tidak bisa diperbaharui (unrenewable).
Dalam mencapai ketersediaan EBT, Indonesia sesungguhnya memliki resources yang melimpah ruah, di antaranya, biothermal, biomass, biofuel, tenaga surya, tenaga angin, micro hydro, energi gelombang laut, energi pasang surut, fuel cell, energi sampah, dan energi nuklir.
Masalahnya, Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan EBT yang resources-nya melimpah ruah. Pertamina sudah mengembangkan biodiesel hanya sampai B-35.
“Untuk mencapai B-100 Pertamina harus bekerja sama dengan investor asing pemilik teknologi,” ujarnya.
Ia menegaskan, demikian juga dengan pengembangan gasifikasi yang mengubah energi kotor batu bara menjadi energi bersih gas. Produk gasifikasi akan menggantikan LPG yang impor dan subsidi contents sangat tinggi.
“Proyek gasifikasi itu mandeg saat Perusahaan Amerika Serikat Air Product hengkang dari konsorsium bersama Pertamina,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, selain penyediaan energi murah, Presiden Jokowi juga meminta ada strategi besar yang memberikan penekanan pada pendidikan vokasi pada RPJPN 2025-2045.
“Dalam kontek ketersediaan dan keterjangkauan energi sangat tepat penekanan pada pendidikan vokasi,” lanjutnya.
Pasalnya, kata Fahmy, pendidikan vokasi dapat mengatasi permasalahan ketersediaan teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT di Indonesia.
“Pendidikan Vokasi yang lebih menekankan pada pengembangan teknologi terapan akan sangat tepat dalam pengembangan teknologi EBT,” tuturnya.
Ia memaparkan, hal itu mengingat RPJPN 2025-2045 merupakan rencana jangka panjang, siapa pun presiden terpilih harus melanjutkan pengembangan ketersediaan dan keterjangkauan energi.
“Yang ditopang SDM lulusan pendidikan vokasi untuk memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” katanya. (Shiddiq)