NIKEL.CO.ID, 27 April 2023-Direktur Utama Industri Baterai Indonesia (Indonesia Battery Corporation/IBC), Toto Nugroho membeberkan untuk membangun industri baterai electric vehicle (EV) tidak bisa cepat dan murah. Karena, ada tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan.
Menurut Toto Nugroho, baterai EV jika dilihat secara fisik ukurannya memang kecil. Namun, proses produksinya membutuhkan tahapan-tahapan. Pertama, membutuhkan raw material tambang dari proses pertambangan di hulu. Kedua, material mining itu harus diolah di smelter. Untuk proses pengolahan raw material tambang ini, teknologi yang digunakan smelter adalah RKEF dan HPAL. Ketiga, tahap pengolahan secara chemical menjadi prekursor.
“Produk prekursor ini banyak ditaksir oleh partner IBC, karena bisa dibawa dan diolah di negaranya masing-masing,” kata Toto Nugroho ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, baru-baru ini.
Tahap keempat, lanjutnya, proses produksi sel baterai. Pada tahap ini, IBC bersama kedua partner bisnisnya akan membangun power plant sekitar sekitar 45 gigawhat hours (GWh). Selanjutnya tahap kelima, kata Toto, penting juga membangun sirkular ekonomi dari baterai EV yang sudah tidak digunakan diolah kembali menjadi baterai baru.
“Jadi, kita ada recycle dengan mengambil material dari baterai-baterai yang sudah tidak digunakan, kemudian diolah kembali menjadi baterai fresh,” jelasnya.
Ia mengakui baterai EV dan ekosistem kendaraan listrik ke depan sangat berpengaruh terhadap transisi energi di Indonesia. Tren pertumbuhan EV di dunia kian hari semakin meningkat. Begitu pun di Indonesia. Pemerintah Indonesia menargetkan, jumlah EV untuk roda dua di 2030 sekitar 9 juta unit, dan roda empat 600 ribu unit.
Toto mengutarakan, seiring meningkatnya pertumbuhan EV di Indonesia, akan muncul konsekuensi. Satu sisi, dibutuhkan ketersediaan tenaga listrik yang memadai. Sisi lain, Indonesia akan mengurangi jumlah impor BBM, lantaran digunakannya listrik untuk EV.
“Potensi di Indonesia pada 2035 akan mengurangi impor BBM hampir 23 juta barel per tahun. Jika di-equivalent dengan kurs dolar sekitar 4 atau 5 juta dolar AS per tahun. Di luar itu, ada aspek pengurangan emisi CO2. Jika kita menggunakan kendaraan berbasis baterai EV, mengurangi emisi CO2 hampir 9 juta ton per tahun atau kurang lebih 6 sampai 8 persen dari total penggunaan transportasi di Indonesia,” papar Toto.
Menurutnya, target itu bisa dicapai Indonesia jika menerapkan ekosistem EV secara konsisten dan skala besar.
Toto menambahkan, struktur kepemilikan IBC terdiri dari Inalum, Antam, Pertamina melalui Power Indonesia, dan PLN. IBC memiliki visi bukan hanya ingin menjadi pemain global untuk baterai EV, tapi juga menciptakan ekosistem EV di Indonesia.
“Karena, tanpa adanya kendaraan berbasis listrik di Indonesia, nanti hasil dari IBC lebih banyak diekspor. Maka, IBC mendorong terbentuknya ekosistem EV di Indonesia,” ujarnya.
Sementara misi utama IBC, di antaranya adalah hilirisasi. Hilirisasi sangat penting di Indonesia dan sudah dimulai bermulai dari hilirisasi nikel. Yang semula Indonesia mengekspor bijih nikel sekarang harus diolah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Bahkan, jika diolah lebih hilir, yakni menjadi baterai EV akan memberikan nilai tambah yang besar.
Toto mencontohkan, jika dilakukan hilirisasi nikel sampai produk nikel sulfat nilai tambahnya menjadi 11 kali lipat. Jika bijih nikel diolah sampai baterai EV nilai tambahnya menjadi 40 kali lipat. Jadi, multiplier effect-nya menjadi lebih besar.
Misi IBC berikutnya mendukung pasar ekosistem EV. Karena itu, IBC mengakuisisi kepemilikan Gesits, yang saat ini menjadi pemegang saham mayoritas. IBC ingin mendorong perkembangan populasi kendaraan roda dua berbasis baterai EV di Indonesia.
“Biaya menggunakan motor listrik lebih murah dibandingkan menggunakan motor berbasis BBM. Sebagai perbandingan, untuk jarak tempuh 1 kilometer jika menggunakan motor listrik, biaya baterai EV hanya 50 rupiah. Namun, jika menggunakan BBM untuk jarak tempuh yang sama dibutuhkan biaya 250 rupiah untuk BBM. Jadi, terjadi penghematan luar biasa untuk masyarakat,” Toto menganalisis.
Misi IBC lainnya, meningkatkan daya saing dengan meningkatkan kapabilitas dan partnership. Menurut Toto, partnership sangat penting, karena dari aspek teknologi, permodalan, dan pasar, saat ini EV battery masih dikuasai tiga kubu, yakni Amerika Serikat, China, dan Eropa.
Ia menyampaikan, sesuai arahan pemegang saham, ada satu hal penting yang harus diperhatikan IBC dalam hal target Indonesia menjadi hak produksi untuk baterai EV.
“Karena, di kawasan Asean sendiri yang memiliki aset paling besar untuk material baterai EV hanya Indonesia. Karena itu, Indonesia memiliki peluang sangat besar jika mampu mengembangkan baterai EV secara masif, Indonesia bisa menjadi eksportir hub ke Asean region,” katanya optimistis. (Syarif)