Proses pemurnian dan pengolahan nikel
NIKEL.CO.ID-Program hilirisasi pertambangan sektor mineral telah dicanangkan Pemerintah Indonesia seiring dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Hilirisasi harus didukung industri pengolahan dan pemurnian (smelter).
Sampai dengan 2024 ditargetkan akan ada 53 smelter yang beroperasi. Maka, artinya ini bertambah sebanyak 34 smelter baru dari yang sudah beroperasi pada 2020 sebanyak 19 smelter.
Namun, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin, saat ini ada sebanyak 12 smelter yang mengalami masalah pendanaan.
“Dari 12 smelter yang mengalami pendanaan, sebanyak delapan smelter di antaranya adalah smelter nikel,” kata Ridwan Djamaluddin saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (10/11).
Kedelapan smelter nikel tersebut, yaitu Bintang Smelter Indonesia, Macika Mineral Industri, Ang Fang Brothers, Teka Mining Resources, Mahkota Konaweeha, Arta Bumi Sentra Industri, Sinar Deli Bantaeng, dan Smelter Nikel Indonesia.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin
Secara general Ridwan Djamaluddin menyebutkan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun 12 smelter ini sekitar US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 63,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per US$).
Menurutnya, Kementerian ESDM berupaya mencari solusi dengan memberikan dukungan pada perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan dukungan pendanaan. Beberapa kegiatan yang dilakukan, misalnya one on one meeting, jika ada kendala pasokan dan bantu susun info memo perusahaan smelter yang bisa ditawarkan ke calon investor dan calon perdana.
Masalah lain yang dalam pembangunan smelter, lanjutnya, tidak hanya pada pendanaan. Tetapi terkait juga persoalan HGB, IMB, IPPKH, lahan, pasokan energi, dan lainnya.
“Ada lima perusahaan yang mengalami kendala pada perizinan,” ujarnya.
Terkait dengan kendala lahan, di antaranya persoalan pembebasan lahan, rencana tata ruang dan wilayah. Ridwan Djamaluddin menyebut ada empat perusahaan yang mengalami kendala lahan.
Sementara pasokan energi, khususnya terkait dengan penyediaan listrik dan kesepakatan harga, yang saat ini dialami tujuh perusahaan.
“Khususnya terkait dengan kondisi pandemi Covid, masalah mobilisasi alat kedatangan warga asing dan alih teknologi,” jelasnya.
Perkuat Sektor Hulu
Terpisah Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan memang banyak faktor pendukung yang harus dipenuhi ketika ingin membangun smelter. Mulai dari power plant, baik terkait infrastruktur jalannya, sosialisasi undang-undang, sosialisasi ke masyarakat, perizinan, dan lainnya.
Menurut Meidy, APNI mendukung program pemerintah dalam membangun dan mengembangkan industri hilirisasi.
“Tapi, yang harus disiapkan terlebih dulu adalah industri hulunya. Apakah industri hulu ini sudah berjalan sesuai kaidah, sudah sesuai aturan. Misalnya, mengenai dampak lingkungan sosial masyarakatnya,” kata Meidy.
Meidy menyebutkan, berdasarkan data APNI, saat ini sudah ada 31 badan usaha yang melakukan kegiatan produksi. Badan usaha itu banyak terafiliasi dalam satu grup, dan ada 56 perusahaan nikel yang tergabung di APNI.
Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey
“Contoh di Kawasan Industri Morowali, ada banyak perusahaan yang mengolah sampah stainless steel. Jadi, pengolahan-pengolahan itu bukan hanya satu perusahaan ya, walaupun mereka terafiliasi, tapi yang kita hitung badan usahanya,” papar Meidy.
Sampai tahun 2024 nanti, lanjutnya, khusus nikel dari 31 perusahaan diperkirakan akan ada 40-an perusahaan yang sedang konstruksi. Jika ditotal akan ada 90 badan usaha.
Ia menekankan, “Pointnya adalah, langkah pemerintah sudah tepat maksa kita harus membangun industri hilirisasi. Tapi, kembali lagi industri hilirisasi sebenarnya yang harus disiapkan adalah industri hulunya.” (Fia/Rief)