Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Jajaki Kerja Sama dengan India, Targetkan 30–40% Ekspor Stainless Steel Beralih...

APNI Jajaki Kerja Sama dengan India, Targetkan 30–40% Ekspor Stainless Steel Beralih dari China

228
0
Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey (Foto: MNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) tengah menjajaki kerja sama dengan India sebagai upaya membuka pasar baru sekaligus mengurangi ketergantungan ekspor produk nikel Indonesia ke China, khususnya untuk kebutuhan industri baja nirkarat (stainless steel).

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, saat ini produksi stainless steel nikel Indonesia 90% masih ke China. APNI menargetkan sekitar 30-40% mendapatkan pasar India.

“Minimal ada pergeseran sekitar 30–40% ke pasar India, tentu dengan catatan kapasitas produksinya juga siap,” kata Meidy di Kantor Sekretariat DPP APNI, Jakarta, kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id), Senin (15/12/2025).

Harga stainless steel di China, tuturnya melanjutkan, terbilang murah hanya sekitar US$1.500 per ton, sedangkan di Eropa mencapai US$2.400, dan di Amerika Serikat mencapai US$3.000. Hal tersebut terjadi bukan karena China efisiensi, tetapi lantaran struktur biaya produksi yang belum sepenuhnya sehingga mineral ikutan, seperti bijih nikel, tidak terhitung.

Stainless steel China itu murah sekali, padahal bahan bakunya dari Indonesia. Biaya produksi kita memang rendah, tetapi ada masalah serius, yakni mineral-mineral ikutan, seperti besi (fero) dan kromium, belum dihitung dan dibayar saat penjualan bijih nikel,” jelasnya.

Sementara itu, penjualan bijih nikel saat ini hanya memperhitungkan kandungan nikel, sedangkan kandungan mineral lainnya, seperti fero, kromium, bahkan kobalt (untuk bijih tertentu) belum memberikan kontribusi langsung terhadap penerimaan negara. Padahal, mineral-mineral tersebut memiliki nilai ekonomi signifikan dan diolah di dalam smelter bersama nikel, khususnya dalam produksi nickel pig iron (NPI) yang mayoritas berujung pada produk stainless steel.

Ia juga menuturkan, bijih nikel saprolit dengan kadar nikel sekitar 1,5% dapat mengandung fero hingga 20-30% serta kromium sekitar 1,7–1,8%. Selain itu, bijih limonit untuk bahan baku baterai mengandung kobalt hingga 0,1–0,2%, dengan harga kobalt yang bahkan mencapai dua kali lipat harga nikel.

“Kalau dihitung, dari saprolit saja, nilai tambah dari fero bisa sekitar US$10, dari kromium sekitar US$7, dan dari kobalt sekitar US$8. Totalnya bisa menambah sekitar US$25 per ton. Untuk limonit, nilainya bisa lebih besar lagi, bahkan mendekati US$60,” ungkapnya.

Kondisi ini menunjukkan potensi kehilangan penerimaan negara yang tidak kecil jika nilai mineral ikutan terus diabaikan. Oleh karena itu, APNI mendorong pemerintah untuk mulai mempertimbangkan skema penilaian dan kebijakan yang lebih komprehensif terhadap seluruh kandungan mineral dalam bijih nikel, seiring dengan agenda hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. (Uyun)