Beranda Nikel APNI: Indonesia Rugi Besar, Mineral Pengikut Nikel tak Dihitung

APNI: Indonesia Rugi Besar, Mineral Pengikut Nikel tak Dihitung

84
0
Indonesia rugi besar, hanya nikel yang dihitung (Foto: Dok. APNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyoroti persoalan serius terkait praktik pengolahan bijih nikel di Indonesia yang dinilai masih mengabaikan nilai mineral pengikut. Kondisi ini membuat biaya produksi baja nirkarat (stainless steel) di China menjadi sangat murah karena bahan bakunya sebagian besar berasal dari Indonesia.

Stainless steel itu masih ke China. Harga stainless steel di China cuma sekitar US$1.500, sementara di Eropa US$2.400 dan di Amerika mencapai US$3.000. Kenapa China murah banget? Karena, stainless steel China itu berasal dari Indonesia dan Indonesia cost produksinya murah,” ujar Meidy kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id) di Sekretariat DPP APNI, Jakarta, Jumat, (12/12/2025).

Murahnya biaya produksi tersebut, katanya menjelaskan, terjadi karena banyak mineral berharga dalam bijih nikel tidak dihitung dan tidak dibayar. Padahal, selain nikel, bijih saprolit maupun limonit juga mengandung fero, kromium, dan kobalt yang memiliki nilai ekonomi signifikan.

“Kita jual bijih nikel, yang dibayar cuma nikel. Bagaimana fero, bagaimana dengan kobalt, bagaimana kromium? Selama ini gratis. Berapa penerimaan negara yang lolos?” tegasnya.

Ia membeberkan, untuk bijih saprolit dengan kadar nikel 1,5%, kandungan feronya bisa mencapai 30%, sementara kandungan kromium rata-rata mencapai 1,79%.

“Kalau biih nikel saprolit 1,5%, Ni-nya mungkin US$30 (FOB). Tapi, jika ditambah fero bisa dapat US$10, dari krom dapat US$7, dan dari kobalt bisa US$8. Artinya, ada penambahan US$25 yang loss,” ungkapnya.

Bahkan, Sekum APNI ini menyingkapkan, bahkan potensi kerugian negara pada bijih limonit jauh lebih besar.

“Kandungan kobalt limonit itu tinggi. Dari fero kita bisa dapat US$29, rom US$3, dan kobalt US$28. Totalnya, kita rugi sampai US$60,” jelasnya.

Masalah ini, katanya lebih lanjut, ditanyakan juga oleh seorang anggota Komisi XII DPR RI saat rapat dengan pendapat (RDP) dengan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, dan surveyor, Senin (8/12/2025). DPR mempertanyakan mengapa pemerintah hanya berfokus pada nikel.

“Mengapa kita hanya fokus nikel? Mineral pengikutnya mana? Itu kerugian negara luar biasa!” ujarnya mengutip pertanyaan anggota DPR tersebut.

Padahal, lanjutnya, negara-negara lain, seperti Rusia, mengekstrak seluruh mineral penyerta dalam proses produksinya, sehingga nilai ekonomi yang diperoleh jauh lebih optimal.

“Di Rusia, mereka mengekstrak seluruh mineral pengikut. Jadi, yang harus dihitung adalah mineral pengikut,” tegasnya.

Oleh sebab itu, APNI mendorong perbaikan HMA dan semua mineral harus masuk nilai ekonomi. APNI, katanya menerangkan, tengah mendorong evaluasi terhadap mekanisme perhitungan harga mineral acuan (HMA) agar tidak hanya fokus pada nikel. Seluruh mineral pengikut, seperti fero, kromium, dan kobalt, harus dimasukkan sebagai komponen bernilai ekonomi. “Karena yang harus dihitung baik fero, krom, kobal, itu bisa punya nilai. Jika mineral penyerta dihitung dengan benar, maka Indonesia akan memperoleh penerimaan negara jauh lebih besar dan tidak lagi menjadi pemasok murah bagi industri stainless steel China,” pungkasnya. (Shiddiq/Lili/Uyun)