Beranda Berita Nasional FINI: Industri Nikel RI Hadapi Tekanan, Oversupply Global dan Tantangan Pasokan Cadangan

FINI: Industri Nikel RI Hadapi Tekanan, Oversupply Global dan Tantangan Pasokan Cadangan

175
0
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengungkap dinamika terkini dalam perkembangan industri nikel nasional, termasuk lonjakan kapasitas produksi, ancaman pasokan bahan baku, hingga tekanan akibat oversupply di pasar global. 

Ketua Umum FINI, Arief Perdana Kusumah, dalam forum resmi bersama para pemangku kepentingan dari kementerian ESDM, Perdagangan, dan Perindustrian, menjelaskan potret lengkap sektor ini dan tantangan keberlanjutan jangka panjangnya.

Pada rapat yang bertema Kegiatan Evaluasi Produksi Nikel Semester II 2025 dan perencanaan produksi nikel nasional tahun 2026 tersebut, Arief menyampaikan, Indonesia telah menjelma menjadi produsen nikel terbesar dunia, menyumbang lebih dari 60% pasokan global. 

Capaian ini merupakan hasil dari kebijakan hilirisasi yang mulai digencarkan sejak 2014. Sejumlah kawasan industri nikel terintegrasi telah tumbuh pesat, seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan industri di Pulau Obi, hingga Halmahera.

“Investasi dalam teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) turut menjadi pendorong utama ekspansi produksi. Saat ini, terdapat sekitar 45 proyek RKEF yang telah beroperasi, 17 proyek dalam tahap konstruksi, dan 4 lainnya masih dalam studi kelayakan. Di sisi lain, tiga proyek telah tutup akibat kendala teknis dan keuangan,” jelasnya, dikutip nikel.co.id, Rabu (2/7/2025).

Sementara, lanjut dia, untuk teknologi HPAL yang digunakan untuk mengolah bijih limonit kadar rendah menjadi bahan baku baterai seperti MHP, Nickel Sulfate, dan Cobalt Sulfate, tercatat sudah ada tujuh proyek yang beroperasi, lima dalam masa konstruksi, dan tujuh dalam tahap perencanaan.

Namun, dirinya menjelaskan, ekspansi besar-besaran ini turut menimbulkan tantangan baru. 

Menurut Arief, sejak 2022 harga nikel dunia turun hampir setengahnya. Tekanan berasal dari lonjakan pasokan global yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lemahnya permintaan (terutama dari China), serta meningkatnya biaya produksi di dalam negeri.

“Biaya produksi yang tinggi menjadi beban tersendiri, terutama bagi smelter skala kecil dan menengah. Tidak sedikit perusahaan yang harus memangkas produksi bahkan menghentikan operasi,” ungkapnya.

Permintaan terhadap produk nikel turunan dari smelter RKEF juga menurun tajam, diperburuk oleh adopsi teknologi baterai LFP yang tidak bergantung pada nikel. Selain itu, gejolak geopolitik seperti ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China juga turut memengaruhi serapan nikel global.

Dalam presentasinya, Arief juga menekankan pentingnya pengelolaan cadangan bijih nikel di Indonesia. Saprolit berkadar tinggi kini semakin sulit ditemukan, sementara banyak saprolit berkadar rendah dan bijih limonit masih dikategorikan sebagai limbah karena belum memiliki akses ke infrastruktur pengolahan seperti HPAL.

“Untuk menjaga keberlanjutan pasokan, dibutuhkan manajemen blending, peningkatan efisiensi penambangan, dan pengembangan teknologi baru. Tidak hanya HPAL, tapi juga teknologi alternatif seperti STAL yang kini mulai dikembangkan,” jelasnya.

Merujuk pada data Neraca Sumber Daya dan Cadangan Minerba 2021, Arief menyebut bahwa cadangan nikel kadar tinggi Indonesia diprediksi akan habis dalam 10–13 tahun, sedangkan cadangan kadar rendah dalam 47–50 tahun, dengan asumsi tidak ada penemuan baru atau penambahan cadangan. Untuk itu, eksplorasi greenfield menjadi mutlak. 

“Banyak area di luar wilayah izin usaha pertambangan saat ini yang memiliki potensi jebakan nikel baru. Namun eksplorasi ini membutuhkan investasi besar dan dukungan teknologi canggih,” ujarnya.

Menutup paparannya, Arief menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis yang perlu dijalankan oleh pemerintah, pelaku usaha, asosiasi, dan seluruh pemangku kepentingan. 

Di antaranya, pengelolaan cadangan bijih secara bijak, diversifikasi sumber bijih, peningkatan efisiensi produksi, perluasan eksplorasi, serta kebijakan pengendalian konsumsi bijih seperti moratorium pembangunan smelter baru.

Ia juga menyoroti pentingnya kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam mengembangkan teknologi pengolahan dan memperluas akses eksplorasi. 

“Indonesia memiliki potensi besar sebagai pusat produksi nikel global. Tapi keberlanjutan industri ini akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengelola sumber daya alamnya dengan bijak dan efisien,” tegasnya. (Lili Handayani)