

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Harga Mineral Acuan (HMA) nikel untuk periode pertama Mei 2025 mengalami penurunan signifikan, yang tercatat sebesar US$ 15.049,23 per dmt untuk kadar nikel MC 35%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan HMA pada April 2025 yang mencapai US$ 15.539,69 per dmt untuk kadar MC 30%.
Penurunan harga ini menandai fluktuasi harga nikel global yang dipengaruhi oleh kondisi pasar internasional, yang dipantau melalui harga rata-rata di London Metal Exchange (LME) selama periode 5 hingga 25 April 2025.
Menanggapi penurunan ini, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memberikan rincian harga referensi nikel berdasarkan kadar nikel (Nickel Content/Ni). Harga referensi ini menjadi acuan penting bagi pelaku industri nikel dan eksportir, dengan harga yang bervariasi mulai dari US$ 26,61 per wmt untuk kadar 1,60% Ni hingga US$ 44,24 per wmt untuk kadar 2,10% Ni.

Tentu saja, harga semakin tinggi seiring dengan kadar nikel yang lebih besar, menciptakan perbedaan signifikan dalam nilai jual.
Koefisien Faktor (CF) juga mengalami penyesuaian, yang mencerminkan perubahan dalam perhitungan HMA. Koefisien ini meningkat secara bertahap, dari 17% untuk kadar 1,60% Ni menjadi 21% untuk kadar 2,10% Ni. Penetapan HMA yang rinci dan berbasis kadar ini penting untuk menentukan kewajiban royalti bagi perusahaan tambang, yang berperan dalam mendukung sektor ekspor dan industri domestik.

Namun, di tengah penurunan HMA, para pelaku industri nikel dihadapkan pada kebijakan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai kenaikan royalti untuk komoditas mineral, termasuk nikel. Kenaikan royalti yang mulai berlaku pada pekan kedua April 2025 ini, bersifat progresif, yang berarti tarif royalti akan meningkat seiring dengan kenaikan harga nikel di pasar global.
Dalam pemberitaan, Direktur Jenderal Minerba ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa kenaikan royalti ini bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan negara di tengah lonjakan harga nikel.
“Tarif royalti bersifat progresif. Begitu harga naik, royaltinya juga naik,” ujar Tri.

Selain itu, dia menambahkan bahwa meskipun tarif royalti meningkat seiring dengan harga, pemerintah juga akan menyesuaikan tarifnya jika harga nikel turun.
Dalam hal ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa kenaikan tarif royalti tersebut adalah langkah yang wajar, mengingat kenaikan harga komoditas seperti nikel dan emas.
“Kami ingin memastikan bahwa baik pengusaha maupun negara sama-sama diuntungkan. Pengusaha mendapat keuntungan besar, negara juga memperoleh penerimaan yang layak,” ujar Bahlil.
Kenaikan royalti progresif ini tentu saja mempengaruhi strategi perusahaan tambang. Dalam hal ini, APNI mengingatkan pentingnya transparansi dalam penentuan harga nikel dan mengajak para pelaku industri untuk memantau pergerakan harga global. Penetapan tarif royalti yang progresif ini menciptakan dinamika baru bagi para eksportir, yang harus menyesuaikan dengan harga nikel yang dapat berfluktuasi tajam.
Kenaikan Royalti Nikel yang diproyeksikan berkisar antara 14 hingga 19 persen ini tentunya akan berdampak pada biaya operasional dan keuntungan perusahaan tambang, terutama dalam menghadapi ketidakpastian harga nikel. Namun, para pelaku industri diharapkan tetap optimis dan siap beradaptasi dengan kebijakan baru ini.
Mengingat bahwa pemerintah berencana untuk memberikan rincian lebih lanjut mengenai persentase kenaikan royalti per komoditas dalam waktu dekat, diharapkan kebijakan ini dapat membawa manfaat jangka panjang baik untuk sektor pertambangan maupun untuk penerimaan negara.
Sebagai catatan, kebijakan ini merupakan bagian dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara, serta revisi PP Nomor 26 Tahun 2022 yang juga mencakup tarif royalti minerba diubah menjadi PP Nomor 19 Tahun 2025.
Dengan kombinasi antara penurunan HMA nikel yang cukup signifikan dan kenaikan royalti yang progresif, industri pertambangan nikel Indonesia menghadapi tantangan ganda. Perusahaan tambang harus dapat mengelola fluktuasi harga dengan cermat agar tetap menjaga kelangsungan operasi mereka.
Di sisi lain, kebijakan royalti yang lebih tinggi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian negara, sekaligus mendorong perbaikan tata kelola industri pertambangan.
Namun, tantangan ini juga membuka peluang bagi pelaku industri untuk meningkatkan efisiensi operasional dan berinovasi dalam pengolahan nikel, guna mengatasi tekanan biaya yang semakin meningkat akibat kebijakan royalti yang baru.
Kedepannya, industri nikel Indonesia diharapkan dapat tetap beradaptasi dengan dinamika pasar global sambil mematuhi kebijakan yang ada, sehingga dapat berperan penting dalam menopang perekonomian nasional. (Shiddiq)