Beranda Asosiasi Pertambangan Harga Kobalt 3-4 Kali Lipat daripada Nikel

Harga Kobalt 3-4 Kali Lipat daripada Nikel

11155
0
Audiensi APNI dan KPK Terkait tata kelola Nikel, di Gedung KPK Lama Bidang Pencegahan, (12/3/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dalam dunia industri nikel, peran mineral ikutan seperti kobalt sering kali terabaikan, meskipun kontribusinya cukup signifikan terhadap harga dan ekonomi sektor ini.

Dalam acara Audiensi Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan yang digelar di Gedung KPK Lama Jl HR Rasuna Said Jakarta, pada Minggu lalu, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey memaparkan mengenai harga kobalt dan tantangan regulasi yang mengiringinya.

https://gjb.chinania.org.cn/2025Jakarta/indexen.html#zxbm

Meidy menjelaskan bahwa dalam kandungan nikel, terdapat berbagai mineral ikutannya, termasuk kobalt.

“Di dalam MHP (Mixed Hydroxide Precipitate), kandungan nikel dapat mencapai 42,19%, sementara kobalt juga memiliki kadar yang sama, yakni 42,19%. Meskipun kandungan kobalt ini tergolong kecil, harganya empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan nikel. Bahkan, dalam beberapa kasus, bisa tiga atau empat kali lipat harga nikel,” jelasnya menyoroti nilai kobalt yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

https://indonesia-critical-minerals.metal.com/

Menurutnya, meskipun kandungan kobalt dalam bijih nikel relatif kecil, hal ini dapat memberikan kontribusi tambahan yang signifikan pada sektor ekonomi.

“Misalnya, dalam bijih nikel tipe limonit, meskipun kandungan kobalt hanya 0,04%, nilai kobalt ini tetap penting karena harganya yang sangat tinggi, mencapai 3 hingga 4 kali harga nikel,” lanjutnya.

Dia juga menyampaikan bahwa tantangan terbesar, seperti yang diungkapkannya, adalah regulasi terkait mineral ikutan seperti kobalt. Ia mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada izin usaha pertambangan (IUP) yang terpisah khusus untuk kobalt.

https://www.argusmedia.com/en/events/conferences/nickel-indonesia-conference

“IUP untuk kobalt itu sebenarnya nempel dengan izin untuk tembaga, emas, atau perak. Akibatnya, mineral seperti kobalt yang seharusnya bisa diperhitungkan lebih detail, justru seringkali terabaikan dalam penghitungan tonase dan kadar mineral yang terkandung dalam produk akhir,” ujarnya.

Sementara itu, Dewan Pengawas APNI, Rizal Kasli, menyoroti bahwa meskipun ada teknologi dan data yang memungkinkan untuk mengidentifikasi kandungan kobalt secara lebih tepat melalui sertifikat analisis (Certificate of Analysis/COA), secara regulasi hal ini belum dapat diterapkan dengan maksimal.

“Surveyor yang melakukan analisa terhadap produk nikel dan mineral ikutannya dapat memberikan laporan terkait kandungan kobalt, tapi kita butuh regulasi yang lebih jelas dan sistem yang transparan agar data tersebut bisa diakses secara efektif,” jelas Rizal masih dalam waktu yang sama.

Meidy kembali memaparkan, terkait masalah lainnya yang muncul dari perbedaan harga mineral antara produk domestik dan impor. Ia mencontohkan bahwa meskipun kandungan nikel dan kobalt dari bijih nikel yang diimpor memiliki kualitas yang sama, harga impor dari negara tetangga bisa jauh lebih murah.

https://cobaltcongressregistration.org/

“Sebagai contoh, bijih nikel dari Filipina yang mengandung 1,4% nikel, harganya bisa mencapai US$44 per ton ketika masuk ke Indonesia, sementara jika membeli dari negara tetangga yang lebih dekat, harga bisa hanya US$22 per ton,” jelasnya dengan nada heran. Perbedaan harga ini menurutnya menunjukkan adanya ketidaktertiban dalam perdagangan mineral yang dapat merugikan pelaku industri domestik.

Untuk itu, Meidy dan Rizal menekankan pentingnya adanya formula yang lebih jelas terkait penghitungan harga dan kandungan mineral ikutannya seperti kobalt dalam produk nikel. Mereka bersama dengan APNI dan berbagai surveyor tengah mengajukan usulan formula baru kepada pemerintah yang dapat menghitung kandungan kobalt dengan lebih akurat.

“Kami ingin melihat ada penghitungan yang lebih jelas mulai dari bijih nikel mentah, seperti limonit dan saprolit, hingga produk jadi seperti FerroNickel, MHP, bahkan kobalt sulfat,” kata Meidy.

Dengan adanya formula yang lebih baik, harapannya kobalt dan mineral ikutannya dapat dihitung dan dihargai secara tepat, sehingga memberikan manfaat lebih besar bagi perekonomian Indonesia. Rizal juga menambahkan,

“Industri nikel tidak hanya soal nikel, namun juga tentang bagaimana kita dapat memanfaatkan mineral ikutannya seperti kobalt secara optimal. Regulasi yang lebih baik dan transparansi dalam penghitungan kandungan mineral adalah langkah penting untuk mengoptimalkan potensi ini,” ujarnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, APNI berencana untuk terus mendorong agar regulasi terkait penghitungan dan pelaporan kandungan kobalt bisa lebih disempurnakan, serta mendorong agar teknologi yang ada bisa lebih terintegrasi dalam proses pengawasan dan analisis di sektor tambang nikel. Diharapkan, dengan adanya perhatian lebih terhadap mineral ikutannya, seperti kobalt, industri nikel Indonesia dapat berkembang lebih berkelanjutan dan memberikan nilai tambah yang lebih besar. (Shiddiq)