Beranda Asosiasi Pertambangan Regulasi Pasca Tambang Penting Demi Keberlanjutan

Regulasi Pasca Tambang Penting Demi Keberlanjutan

2828
0
Dewan Pakar Perhapi, Prof. Dr. Ir. Rudi Sayoga Gautama, Mining Workshop for Journalist, 27 Februari 2025).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pengelolaan lingkungan hidup pasca-tambang di Indonesia kini semakin mendapat perhatian serius seiring dengan semakin ketatnya regulasi yang mengatur keberlanjutan pasca-pertambangan.

Hal ini diungkapkan oleh Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Prof. Dr. Ir. Rudi Sayoga Gautama, yang menjelaskan bahwa peraturan mengenai pasca-tambang sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009 dan Indonesia termasuk negara yang cukup cepat dalam mengeluarkan peraturan terkait pasca-tambang.

“Peraturan mengenai Pasca Tambang itu sudah ada sejak tahun 2009. Kita bahkan termasuk yang cukup cepat mengeluarkan peraturan-peraturan mengenai Pasca Tambang,” ujar Prof. Rudi saat diskusi Mining Workshop for Journalis, di Jakarta baru-baru ini.

Dasar hukum pengelolaan lingkungan hidup pertambangan di Indonesia, menurutnya, meliputi beberapa regulasi penting, termasuk Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, terdapat juga Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 yang mengatur tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.

Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah sanksi yang diberikan kepada perusahaan tambang yang tidak melaksanakan kewajiban reklamasi dan pasca-tambang dengan baik. Dalam Pasal 161B ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan bahwa setiap orang yang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK-nya dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pasca-tambang, serta tidak menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pasca-tambang, akan dikenakan sanksi pidana.

“Sanksi pidananya bisa berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar,” ujarnya.

Namun, sanksi pidana tersebut bukanlah satu-satunya bentuk hukuman. Dia menjelaskan bahwa peraturan ini juga mencakup sanksi tambahan berupa pembayaran dana yang harus digunakan untuk melaksanakan kewajiban reklamasi dan/atau pasca-tambang yang belum dipenuhi oleh perusahaan tersebut.

Ini bertujuan agar pelaksanaan reklamasi dan pasca-tambang bisa dilakukan dengan lebih terstruktur dan bertanggung jawab, demi menjaga kelestarian lingkungan serta mendukung keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat sekitar.

Menariknya, meskipun Indonesia sudah mengeluarkan berbagai regulasi terkait pasca-tambang sejak 2009, negara ini masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya.

“Di Indonesia, regulasinya sudah ada sejak 2009. Sementara, di Australia, baru pada 2006 peraturan serupa diberlakukan. Jadi, kalau dibandingkan, Indonesia sebenarnya sudah cukup maju dalam hal regulasi ini,” paparnya.

Namun demikian, ia menekankan bahwa tantangan utama terletak pada implementasi yang membutuhkan waktu. Terutama terkait dengan tailing atau limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan, khususnya nikel.

“Tailing ini masih diklasifikasikan sebagai B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Tailing dari pertambangan nikel, misalnya, memiliki risiko lingkungan yang cukup tinggi jika tidak dikelola dengan baik,” tambahnya.

Lebih lanjut, Prof. Rusdi menjelaskan bahwa reklamasi dan pasca-tambang bukanlah proses yang cepat. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat aktivitas pertambangan.

“Reklamasi itu tidak selesai hanya dalam satu bulan atau dua bulan. Untuk bisa kembali berfungsi, reklamasi perlu waktu yang cukup panjang,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa meskipun pengelolaan reklamasi dan pasca-tambang sudah cukup baik di atas kertas, sering kali masyarakat hanya melihat hasilnya dalam bentuk foto-foto yang belum tentu menggambarkan proses yang sesungguhnya.

“Saya banyak melihat foto-foto yang diambil dari lapangan, tetapi perlu dipahami bahwa proses reklamasi itu berjalan lambat dan bertahap,” katanya.

Dengan berbagai regulasi yang telah diterapkan, diharapkan pengelolaan lingkungan pasca-tambang di Indonesia bisa semakin terstruktur dan profesional. Prof. Rusdi pun optimis bahwa meskipun tantangan yang ada cukup besar, kebijakan dan sanksi yang sudah ada akan memperkuat pelaksanaan reklamasi dan pemulihan lingkungan hidup demi masa depan yang lebih baik. (Shiddiq)