NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Para investor Tiongkok telah berhasil menguasai sebagian besar kapasitas penyulingan nikel di Indonesia, yang merupakan produsen mineral terbesar di dunia – sebuah dominasi yang mungkin memberi Tiongkok lebih banyak suara mengenai harga di masa depan sekaligus menyingkirkan para pesaingnya, menurut sebuah laporan baru.
Perusahaan atau pemegang saham Tiongkok pada akhirnya mengendalikan setidaknya tiga perempat kapasitas penyulingan nikel di Indonesia, meskipun kepemilikannya tersembunyi di balik “lapisan perusahaan cangkang” untuk menutupi kepemilikan asing, menurut analisis yang disiapkan oleh Center for Advanced Defense Studies (C4ADS) yang berbasis di Washington.
Permintaan nikel global diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 6 juta ton pada tahun 2040 seiring dengan semakin populernya teknologi energi ramah lingkungan. Mineral ini digunakan antara lain dalam produksi baterai kendaraan listrik dan pembuatan baja tahan karat. Indonesia adalah produsen baja tahan karat nomor 2 di dunia.
“Posisi Tiongkok yang mengakar dalam industri ini menyulitkan perusahaan untuk membangun rantai pasokan yang sepenuhnya independen dan aman di luar Tiongkok,” ungkap penulis laporan tersebut, dikutip nikel.co.id melalui laman northernminer.com, Kamis (06/02/2025).
“Ketergantungan pada produksi nikel yang dikontrol Tiongkok tidak hanya menimbulkan kekhawatiran mengenai ketahanan rantai pasokan, namun juga menempatkan produsen mobil AS dan Eropa pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pasar kendaraan listrik global di tengah semakin ketatnya kebijakan perdagangan dengan Tiongkok. Tekanan persaingan ini berpotensi menghambat inovasi, menunda jadwal produksi, dan mengganggu pasokan.”
Pengaruh Asing
Karena Indonesia berupaya memanfaatkan industri nikel untuk pertumbuhan ekonomi, pengaruh asing dapat membatasi kemampuan negara untuk mengendalikan dan membentuk industri ini demi kepentingannya, tambah laporan tersebut.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Tahun lalu negara ini memproduksi 63% nikel dunia, naik dari 28% pada tahun 2020 – pangsa tersebut dapat dengan mudah meningkat menjadi 75% dalam tiga hingga lima tahun ke depan, menurut Jim Lennon, direktur pelaksana komoditas di Macquarie Group Australia yang berbasis di London.
Dengan menggunakan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, penulis laporan ini mengidentifikasi 19 kilang yang menyumbang 90% dari kapasitas produksi nikel dalam negeri pada tahun 2023.
Beberapa perusahaan Tiongkok yang terlibat dalam industri penyulingan nikel di Indonesia memiliki koneksi dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok atau telah menerima dukungan dari bank-bank Tiongkok, kata laporan tersebut. Misalnya saja, Pemerintah Provinsi Guangdong dan Departemen Keuangan Provinsi Guangdong bersama-sama memiliki saham terbesar di perusahaan penyulingan terdaftar di Indonesia, PT Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, menurut dokumen tersebut.
Kontrol Duo
Dua perusahaan asal Tiongkok – Tsingshan Holding dan Jiangsu Delong Nickel Industry – memiliki saham yang “cukup besar” di kilang yang mencakup lebih dari 70% kapasitas penyulingan nikel di Indonesia, menurut laporan tersebut, dengan mengutip catatan publik.
“Konsentrasi kepemilikan ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran mengenai dominasi industri, namun kedua perusahaan ini juga dikaitkan dengan permasalahan lingkungan dan sosial yang signifikan,” kata laporan tersebut.
Sebagian besar industri penyulingan nikel di Indonesia bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai penggunaan bahan bakar fosil untuk menggerakkan transisi energi terbarukan, kata laporan tersebut.
Beberapa media menyebut fasilitas pemrosesan di Indonesia lemah dalam keselamatan kerja. Lebih dari 90 kematian dan lebih dari 100 cedera dilaporkan di fasilitas pengolahan di Indonesia antara tahun 2015 dan 2023, sementara protokol keselamatan di beberapa pabrik peleburan sering kali diabaikan, kata laporan itu. Pada tahun 2024, Departemen Tenaga Kerja AS menambahkan nikel Indonesia ke dalam daftar tahunan barang-barang yang diproduksi melalui kerja paksa.
Harga Merosot
Harga nikel telah merosot tajam sejak tahun 2022 di tengah meningkatnya kelebihan produksi – yang sebagian besar disebabkan oleh peningkatan produksi dari Indonesia. Harga logam yang lebih rendah, ditambah dengan inflasi biaya yang signifikan di sektor pertambangan, telah memaksa banyak produsen di luar Indonesia menghentikan operasinya.
Tahun lalu, harga rata-rata tahunan London Metals Exchange untuk logam berwarna putih keperakan itu anjlok 22% dibandingkan tahun lalu menjadi US$16.812 per ton. Nikel turun sekitar 2,4% tahun ini pada hari Rabu, diperdagangkan sekitar US$15.280 per ton.
Indonesia dapat memangkas kuota produksi bijih nikel untuk tahun ini menjadi antara 150 juta dan 200 juta ton sebagai upaya untuk menopang harga, kata Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pekan lalu. Berita tentang pengurangan kuota ini muncul ketika Indonesia bersiap untuk merevisi undang-undang pertambangan, menyusul janji Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat pengembangan industri pengolahan mineral. Salah satu perubahan yang diusulkan adalah memberikan perusahaan-perusahaan akses prioritas terhadap wilayah pertambangan untuk tujuan “hilirisasi”. (Lili Handayani)