
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dalam acara Strategic Discussion yang diselenggarakan oleh Indonesia Mining Institute (IMI) di The Westin Jakarta, salah satu pembicara, Dian Bowman, mengungkapkan pandangannya tentang perbedaan mencolok antara sistem perizinan tambang di Indonesia dan negara-negara maju seperti AS, Kanada, dan beberapa negara Amerika Selatan.
Menurut Dian, pendekatan yang diterapkan di negara-negara tersebut cenderung lebih terbuka dan memudahkan perusahaan untuk mendapatkan konsesi pertambangan. Di negara-negara seperti AS dan Kanada, perusahaan dapat memperoleh izin tambang tanpa proses seleksi yang panjang dan birokratis.
“Di sana, yang diutamakan adalah kinerja perusahaan setelah mereka memulai operasi, bukan sebelum mendapatkan izin,” kata dia dalam acara tersebut, Selasa (4/2/2025).
Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang menerapkan sistem lebih birokratis dengan intervensi pemerintah dalam proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), termasuk ketentuan keuangan dan kepatuhan lainnya.
Dian juga menjelaskan bahwa sistem perizinan yang lebih ketat ini, meskipun bertujuan untuk menjaga kedaulatan sumber daya alam, berpotensi menghambat masuknya modal asing yang sangat dibutuhkan untuk eksploitasi sumber daya mineral Indonesia.
“Pendekatan lebih liberal yang diterapkan di negara-negara seperti Kanada memungkinkan pasar lebih efisien dan mempercepat eksploitasi sumber daya, karena investasi dapat masuk lebih cepat tanpa banyak birokrasi,” ungkapnya.
Namun, dia juga mengingatkan bahwa ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengadopsi model serupa, termasuk dampak lingkungan, kedaulatan negara, dan penerimaan negara dari sektor pertambangan.
“Negara seperti Kanada meskipun lebih terbuka dalam sistem perizinannya, tetap mempertahankan regulasi ketat dalam hal perlindungan lingkungan dan kepatuhan hukum,” jelasnya.
Dalam diskusinya, ia juga menekankan pentingnya Indonesia menilai kembali apakah sistem pre-qualification yang ada saat ini menjadi hambatan bagi investasi.
“Jika sistem yang ada terlalu membebani, mungkin ada ruang untuk mengurangi intervensi pemerintah, namun dengan tetap menjaga kepentingan nasional dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan,” tambahnya.
Dian juga menyampaikan tiga pertanyaan utama yang diangkat dalam diskusi tersebut antara lain, pertama sjauh mana Indonesia siap untuk mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dalam perizinan tambang, tanpa mengorbankan kedaulatan negara?
Kemudian, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan menarik investasi asing dengan menjaga kontrol terhadap sumber daya alam?
Terakhir, apa saja insentif yang dapat diberikan oleh Indonesia untuk membuat sektor pertambangannya lebih kompetitif dibandingkan negara lain?
Ia menekankan bahwa Indonesia perlu mencari jalan tengah yang dapat meningkatkan daya tarik investasi sambil tetap memastikan kepentingan nasional tetap terjaga. (Shiddiq)