NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Deputy Executive Director for Operations Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Medelina K. Hendytio, mengatakan, mineral kritis saat ini memegang peranan yang sangat besar dalam pembangunan global.
Medelina menjelaskan, pada era transisi energi dan digitalisasi, mineral seperti nikel, logam tanah jarang atau rare earth element (REE) telah menjadi tulang punggung teknologi bersih, seperti baterai kendaraan listrik, panel surya dan perangkat elektronik canggih lainnya.
Indonesia, lanjutnya, sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam ini memiliki peluang besar untuk memainkan peran sentral dalam rantai pasok global. Namun, kekayaan sumber daya ini juga membawa tantangan yang tidak kecil. Selama ini, banyak dari mineral tersebut diekspor dalam bentuk mentah, sehingga nilai tambahnya sangat minimal bagi ekonomi nasional.
“Kebijakan hilirisasi yang telah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir merupakan langkah maju untuk mengubah paradigma ini. Dengan hilirisasi, kita tidak hanya ingin meningkatkan pendapatan negara tetapi juga menciptakan lapangan kerja, mentransfer teknologi dan meningkatkan daya saing industri domestik,” katanya dalam paparanan diskusi publik berjudul “Evaluasi dan Prospek Kebijakan Hilirisasi dan Pengembangan Industri Mineral Kritis di Era Pemerintahan Baru Indonesia”, Gedung Pakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Namun, kebijakan ini juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Pertama, tantangan lingkungan juga eksploitasi mineral kritis. Hal tersebut dapat memberikan dampak signifikan terhadap ekosistem, termasuk deforestasi, polusi air dan pengelolaan limbah tambang selain pertanyaan tentang manfaat ekonomi yang dirasakan dalam konteks masyarakat lokal. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang memastikan bahwa hilirisasi berjalan beriringan dengan keberlanjutan lingkungan.
Kedua, ungkapnya, infrastruktur dan teknologi. Hilirisasi membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur dan teknologi yang tidak selalu mudah dijangkau oleh pelaku industri domestik.
“Untuk itu, transfer teknologi dan mitra internasional juga perlu dioptimalkan agar industri domestik kita mampu bersaing di pasar global. Kompetisi global indonesia bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi dan memantabkan posisinya di lantai nilai global,” terangnya.
Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi memicu konflik dengan perjanjian perdagangan internasional, maka stabilitas kebijakan menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan investor.
“Dengan demikian, pemerintah baru Indonesia memiliki tantangan besar untuk memastikan bahwa hilirisasi mineral kritis tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi semata tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan,” jelasnya.
Di forum tersebut menyampaikan para ahli dan praktisi mempresentasikan kajian komprehensif tentang kebijakan hilirisasi mineral kritis. Ia berharap diskusi itu dapat mengevaluasi kebijakan hilirisasi yang telah berjalan dari aspek ekonomis sosial dan lingkungan. Apa yang sudah berhasil, apa yang masih perlu diperbaiki kita juga perlu membahas prospek keberlanjutan kebijakan hilirisasi mineral kritis pada masa pemerintahan baru.
“Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan peluang global, sambil tetap menjaga keberlangsungan keberlanjutan dan kedaulatan ekonomi. Indonesia berada pada momentum yang sangat penting untuk memastikan bahwa potensi mineral kritis dikelola dengan optimal,” katanya.
Yang ketiga, lanjutnya, Indonesia perlu menyusul rekomendasi kebijakan yang inovatif untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial. Hilirisasi harus berjalan seiring dengan praktek praktek industri yang ramah lingkungan agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan generasi mendatang.
“Saya mengajak kita semua untuk berpikir kritis, berdialog konstruktif, dan memberikan kontribusi terbaik untuk masa depan hilirisasi dan industri mineral kritis di Indonesia,” pungkasnya. (Lili Handayani)