NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Donald Trump memenangkan pemilu Amerika Serikat (AS), Rabu (6/11/2024). Kemenangannya diumumkan sekitar pukul 5.30 waktu setempat atau 17.30 WIB.
Trump dari Partai Republik ini berhasil mengalahkan Kamala Harris, calon presiden dari Partai Demokrat. Trump meraih 277 suara elektoral, sementara Kumala hanya selisih 53 suara dengan total sebanyak 224 suara.
Kemenangan Trump ini tentunya dinilai akan berdampak pada sektor pertambangan nikel lantaran kebijakan Trump yang dinilai pro-energi fosil dan kurang mendukung transisi energi hijau. Tentu ini mempengaruhi permintaan nikel Indonesia sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik
Menanggapi hal tersebut, Head of Sustainability Nickel Industries, Muchtazar, menjelaskan kebijakan Trump yang lebih mendukung energi fosil dan kurang mengutamakan transisi ke energi hijau bisa mengurangi percepatan adopsi kendaraan listrik di AS.
“Karena nikel adalah komponen utama baterai kendaraan listrik, penurunan permintaan kendaraan listrik akan berdampak negatif terhadap permintaan nikel dari Indonesia. Permintaan yang lemah ini bisa mengurangi ekspor nikel Indonesia untuk kebutuhan pasar AS,” ungkap Muchtazar kepada nikel.co.id saat dimintai tanggapan mengenai hal ini, Kamis (7/11/2024).
Dirinya mengatakan, jika Trump menang dan menerapkan kebijakan yang mengutamakan investasi dalam negeri, hal ini bisa menghambat investasi AS di sektor nikel Indonesia. Kebijakan Trump sering memprioritaskan investasi domestik dalam sektor energi, yang bisa mengurangi minat perusahaan-perusahaan AS untuk menanamkan modal di sektor nikel Indonesia yang berorientasi pada ekspor.
“Ketegangan dagang yang meningkat antara AS dan China di bawah Trump berpotensi memberi peluang atau risiko bagi Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mungkin mendapat keuntungan sebagai pemasok alternatif bagi AS, menggantikan produk-produk dari China. Namun, jika ketegangan dagang menekan ekonomi global, dampaknya juga bisa menurunkan permintaan bahan baku dari pasar global, termasuk nikel,” jelasnya.
Trump, lanjut Muchtazar, cenderung menerapkan kebijakan tarif yang ketat untuk melindungi industri dalam negeri, terutama terhadap negara berkembang. Jika kebijakan serupa diterapkan pada komoditas Indonesia, biaya ekspor nikel ke AS bisa meningkat. Hal ini dapat memengaruhi daya saing nikel Indonesia di pasar Amerika dan mendorong Indonesia untuk mencari pasar alternatif di negara lain.
“Jika Trump memberlakukan kebijakan yang semakin proteksionis, kemungkinan investasi AS di sektor nikel Indonesia akan berkurang, terutama jika fokus AS adalah membangun ketahanan energi dalam negeri,” jelasnya.
Selain itu, perusahaan-perusahaan AS mungkin lebih enggan untuk berinvestasi di luar negeri dan lebih memilih investasi yang mendukung pengembangan sektor energi AS.
Posisi Indonesia sebagai pemasok utama nikel global mungkin terpengaruh jika AS mengurangi dukungan terhadap energi terbarukan, yang dapat menghambat adopsi kendaraan listrik di AS. Meskipun demikian, permintaan dari negara-negara lain seperti China dan Uni Eropa yang tetap mendukung transisi energi hijau dapat mempertahankan posisi Indonesia di pasar global.
“Kebijakan Trump yang anti-regulasi lingkungan bisa memperlambat adopsi kendaraan listrik di AS, karena perusahaan otomotif tidak terdorong untuk mengalihkan produksi ke kendaraan ramah lingkungan. Hal ini bisa menurunkan permintaan nikel dari sektor baterai kendaraan listrik di AS, yang tentunya berpotensi mengurangi ekspor nikel Indonesia ke pasar tersebut,” katanya.
Indonesia dapat fokus memperkuat kerja sama dengan negara-negara yang terus berkomitmen pada energi hijau, seperti China, Uni Eropa, dan beberapa negara Asia lainnya. Selain itu, Indonesia dapat berinvestasi lebih dalam pada fasilitas pemurnian nikel untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing nikel di pasar global, memastikan bahwa nikel Indonesia tetap relevan di tengah perubahan kebijakan AS.
“Indonesia juga dapat memperkuat posisi dengan meningkatkan daya tarik investasi dalam negeri, sehingga pemain internasional tetap tertarik berinvestasi di sektor nikel meskipun ada hambatan dari kebijakan luar negeri AS,” tutur Muchtazar.