
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Hilirisasi Indonesia belum sampai ke arah hilirisasi yang sempurna, masih pada tahap middle atau midelirisasi (midlerizations).
Hal itu disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, saat memandu diskusi publik yang diadakan Partai Golkar, bertema “Masa Depan Hilirisasi Nikel di Indonesia”, di Gedung Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (25/10/2024).
“Banyak hal yang ingin kita sampaikan dan mencari solusi, terutama tentang hilirisasi. Tapi, bagi kami, itu belum tepat sebenarnya karena kalau hilir itu produk jadi, hilir banget. Kalau bahasa kami itu masih midelirisasi. Karena, kita masih menghasilkan produk-produk middle, belum menghasilkan banyak end product atau hilir,” ungkap Meidy.
Menurut dia, saat ini pemerintah mendorong perusahaan pertambangan untuk membuat produk-produk middle untuk menuju ke tahap industrialisasi. Karena itu, ia mengingatkan bahwa diskusi tersebut penting untuk memberikan masukan kepada para pemimpin baru yang sebentar lagi akan bertugas untuk mengawal regulasi. Hasil diskusi ini diharapkan dapat melahirkan solusi-solusi baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada.
“Kita harap pemimpin yang baru bisa memberikan kepastian, kenyamanan, dan bagaimana investasi usaha di dunia pertambangan bisa membuat kemakmuran untuk bangsa dan negara, untuk masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana Acara Badan Saksi Nasional Partai Golkar (BNSPG), Mustaqim, menyampaikan, acara ini diinspirasi oleh disertasi Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia (UI) pada 16 Oktober 2024 lalu.
“Hilirisasi ini menjadi penting karena Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan mineral yang cukup banyak, salah satunya adalah nikel. Program pemerintah sebelumnya benar-benar mengawal hilirisasi ini, terbukti dengan adanya larangan ekspor nickel ore yang diberlakukan 1 Januari 2020,” kata Mustaqim dalam sambutan acara tersebut.
Menurutnya, pemberlakuan larangan ekspor bijih mentah nikel ke luar negeri oleh pemerintah memberikan efek positif dengan adanya peningkatan investasi di sektor smelter, meskipun investasi tersebut dikuasai oleh negara asing. Inilah yang menjadi tantangan ke depan untuk pemerintah agar seimbang.
Selain itu, tambahnya, mengenai dana bagi hasil daerah (DBH), khususnya di sektor non sumber daya alam (SDA), dalam disertasi Bahlil, memiliki arti bahwa daerah yang tempat berdirinya industri harus mendapatkan manfaat dari dana bagi hasil daerah tersebut.
“Keterlibatan para pengusaha muda dalam investasi pertambangan nikel pun dinilai masih sangat minim. Padahal, keterlibatan pengusaha muda sangat penting dalam proses bisnis di sektor tersebut,” ujarnya.
Di sisi lain, sambungnya, sangat ironis ada kekurangan bahan baku, beberapa perusahaan di Sulawesi dan Kalimantan Timur mengimpor nikel dari Filipina, padahal nikel kita melimpah. Namun, ia mempertanyakan, apakah pemerintahan masih sejalan dengan cita-citanya kebijakan hilirisasi selama ini dengan berbagai peristiwa dan persoalan yang mengiringinya?
“Hari ini kita lihat cadangannya sangat terbatas, smelternya semakin hari semakin tumbuh. Hal tersebut tentu menjadi problem tersendiri. Artinya, membangun sebuah smelter harus memiliki usia yang balik modal,” pungkasnya. (Shiddiq)