NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, mengharapkan pengembangan eksosistem baterai dan kendaraan listrik dapat membuat negara-negara lain bergantung pada produk-produk Indonesia.
Hal ini dia sampaikan dalam acara Market Review di IDX Channel yang bertema “Hilirisasi Nikel Berlanjut di Pemerintahan Baru” dan pengaturan pemerintah untuk komoditas mineral mentah untuk di hilirisasi yang dikelola oleh perusahaan dalam negeri, Senin (23/9/2024), pukul 10.00 WIB.
“Ini yang kita harapkan bisa banyak memberikan lapangan pekerjaan dan pertambahan nilai tambah yang kita inginkan,” harap Djoko yang diikuti nikel.co.id melalui laman IDX Channel.
Dia mengutarakan, perusahaan-perusahaan dari luar negeri datang ke Indonesia membuat pabrik-pabrik di dalam negeri, sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan menghasilkan keuntungan pendapatan negara serta dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
“Tapi kalau sekarang mereka hanya beli bahan baku setengah jadi kita hanya menikmati nilai tambah yang dari bahan baku setengah jadi,” sebutnya.
Ia menjelaskan, kalau nikel dijadikan stainless steel maka nilai tambahnya baru mencapai 9x lipat dari nilai nikelnya dan kalau Indonesia bisa membuat mobil listrik, semisal harga nikel 1 ton sekitar US$30.000 dan ketika dijadikan sebuah mobil dengan berat 50 kilogram harga mobil listriknya senilai Rp500 juta hingga Rp1 miliar.
“Sudah terlihat bagaimana keuntungan yang bisa dibangun,” jelasnya.
Poin penting hilirisasi nikel adalah upaya menciptakan pasar dalam negeri sehingga pasar dalam negeri dapat maksimal menyerap lapangan pekerjaan dan potensi pasar untuk produk-produk hilirisasi sektor pertambangan mineral. Djoko mengungkapkan, hal ini berkaitan dengan ketidak seimbangan antara negara-negara industri yang masih belum mau berbagi dengan dengan negara berkembang seperti Indonesia, seperti gugatan Uni Eropa ke WTO, aturan pajak khusus untuk produk-produk Indonesia.
Hal ini harus diselesaikan melalui diskusi bahwa Indonesia berhak menikmati yang menjadi haknya yang menghasilkan produk setengah jadi hingga produk jadi dan berbagi produk dengan negara-negara lain karena negara lain berharap pada Indonesia.
Namun, menurut dia, masih ada beberapa negara yang belum rela melihat Indonesia maju. Hal inilah yang akan disampaikan ke negara-negara tersebut untuk bekerja sama bukan lagi mendikte Indonesia tapi bersama-sama membangun.
“Seperti menekankan suatu keseluruhan bukan permasalahan lagi tapi kolaboratif. Ok, teknologi harus kita bayar tetapi tidak semahal ini. Tapi kita harus juga dihargai, kita punya sumber daya alam yang mereka butuhkan dan juga keseimbangan daripada pembayaran dan penghasilan,” pungkasnya. (Shiddiq)