NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Sustainability Manager Nickel Industries Limited, Muchtazar menyampaikan tiga hal di perusahaannya yang menjadi tantangan dalam penerapan hilirisasi nikel di Indonesia.
Pertama, jelas Muchtazar, minat investasi. Ia mengatakan, investasi sudah banyak berhasil ditarik masuk ke perusahaannya. Namun, sejauh ini investasi tersebut masih didominasi satu negara yaitu China.
“Tapi memang sejauh ini investasi ini hanya didominasi oleh salah satu negara lah boleh dikatakan, bahkan oleh China seperti itu,” jelasnya dalam IDX Channel, Selasa (20/8/2024).
Ia menjelaskan, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk menarik investasi dari pasar global lain. Sehingga, perusahaannya membuka diri baik dari negara negara Asia juga Australia, Eropa dan Amerika. Dirinya menilai mungkin hal tersebut juga yang dihadapi sesama pelaku bisnis nikel Indonesia.
“Jadi kita berusaha untuk mendatangkan investasi dari lebih banyak negara di dunia,” ujarnya.
Kedua, ungkapnya, terletak pada sisi teknologi. Menurut dia, saat ini teknologi yang banyak digunakan ialah Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). RKEF akan dikembangkan menjadi lebih efisien dan untuk transisi ke teknologi yang mungkin akan berbasis kimia sehingga lebih ramah karbon, lebih rendah dampaknya terhadap lingkungan.
Untuk mengembangkan RKEF ini, pertama menjadi lebih efisien kedua adalah untuk bertransisi ke teknologi mungkin teknologi akan berbasis kimia dan dia akan lebih ramah karbon, lebih rendah dari dampaknya terhadap lingkungan.
“Seperti itu, dan itu juga yang kami sedang kembangkan, kami tadi sedang membangun satu pabrik pengolahan nikel terbaru dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sebetulnya diproyeksikan menghasilkan nikel dengan kandungan karbon yang jauh lebih ramah ketimbang teknologi pirometalurgi,” terangnya.
Lalu yang terakhir, tatangan yang dihadapi ialah pemenuhan standart lingkungan, sosial dan tata kelola. Atau jika di dalam dunia investor disebut Environmental, Social, and Governance (ESG).
Dirinya menilai, dalam iklim investasi dimana orang orang perlu mengintegrasikan element sosial dan lingkungan dalam pertimbangan pengembangan usaha.
“Secara umum dan ada banyak standart secara global yang diterbitkan oleh organisasi organisasi yang berbeda. Itu menyebabkan pemenuhannya juga menjadi tidak mudah. Kita sebagai pelaku usaha yang relatif baru, kita juga masih belajar dan terus berusaha agar bisa memenuhi sebanyak mungkin standart ESG yang diharapkan,” tutur Muchtazar. (Lili Handayani)