NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan niatnya untuk mendirikan Indonesia Metal Exchange (IME) sebagai perdagangan bursa komoditas yang salah satunya adalah komoditas nikel dalam forum Focus Group Discussion (FGD) Kementerian Perdagangan RI tahun 2024.
Hal ini seperti disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey yang mewakili APNI dalam Forum FGD Kemendag RI, di Hotel The Luxton, Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Jumat (5/7/2024), yang memfokuskan pada Implementasi Validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) Komoditas Nikel pada Sistem Informasi Mineral & Batubara Antar K/L (SIMBARA) untuk meningkatkan produk pertambangan mineral Indonesia terutama pada komoditas nikel.
“Tahun ini kita mempunyai target untuk mendirikan nikel melalui IME, mungkin ini akan lebih transparan lagi karena kalau sudah melalui IME maka mari kita transaksinya di sana saja di bursa. Hal itu akan terdata dan terintegrasi,” kata Meidy dalam forum FGD tersebut.
Menurutnya, hal ini dilatarbelakangi oleh permasalahan-permasalahan yang dialami pada saat jual beli bijih nikel di antaranya perbedaan kadar nikel dari penghitungan kadar penambang maupun smelter oleh surveyor. Ditambah, penelusuran (tracking) asal usul bijih nikel ketika dijual di kawasan industri yang dikumpulkan dalam sebuah gudang menjadi satu sehingga tidak dapat diverifikasi asal usul bijih nikel dari penambang siapa dan dari wilayah mana terkait materi karbon sebagai standar green energy.
Saat ini, dia menuturkan, di Sulawesi sudah ada 2 smelter dan 2 pabrik yang akan bertambah menjadi 4 pabrik. Untuk Kawasaan Industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah sudah ada sebanyak 40 pabrik maupun Morowali Utara ada sebanyak 2 pabrik. Untuk Kawasan Industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) ada sebanyak 15 pabrik. Umumnya, kawasan industri pendapatannya berasal dari dari bahan baku.
“Kebanyakan kawasan industri itu menyediakan gudang penampungan, kami para penambang mengirim ke gudang penampungan itu sudah tercampur sehingga dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) A, IUP B, IUP C sudah tidak teridentifikasi, yang bisa teridentifikasi itu hanya kadar 1,5 dan 1,6 serta 1,7 hingga kadar 2. Jadi sudah tidak tahu lagi asal bijih nikelnya darimana,” tuturnya.
Ia menjelaskan, di sini sering terjadi permasalahan yang cukup menghebohkan para pemilik IUP ketika terjadi perbedaan kadar maka sudah tidak bisa lagi melakukan tes ulang karena bijih nikelnya sudah tercampur dengan bijih nikel dari IUP tambang lain dan para surveyor mengetahui hal ini.
“Jadi kalau kadar bijih nikel dari penambang atau penjual, bijih nikel itu sudah tidak bisa terverifiksasi karena kalau kita bicara kawasan industri masuk dari pelabuhan, pelabuhan langsung tumpah ke gudang penampungan, dan itu dari sumber yang mana kita sudah tidak tahu lagi. Hal ini harus menjadi konsentrasi (perhatian),” jelasnya.
Sekedar informasi, menurut pemberitaan, penetapan Peraturan Menteri Keuangan nomor 43 tahun 2023, tentang sistem Validasi Volume NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) melalui Sistem Informasi Mineral & Batubara Antar K/L (SIMBARA) diimplementasikan sebagai bagian dari strategi terbaru untuk meningkatkan pengawasan terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara.
Langkah ini dilakukan melalui sinergi proses bisnis dan data antar Kementerian/Lembaga, membawa pelaksanaan kebijakan PNBP pada level yang lebih tinggi dan efisien.
Tahap awal penerapan SIMBARA dimulai pada Februari 2022 dengan integrasi sistem untuk ekspor batubara. Saat ini, implementasi tersebut telah mencapai 100% dan data analitik SIMBARA tahap I telah dimanfaatkan secara efektif. Tahap kedua melibatkan integrasi penjualan DN (Domestik Negeri) batubara dan mineral (timah) yang dimulai pada 31 Oktober 2022.
Implementasi ini berhasil diselesaikan, termasuk pembangunan dashboard dan data analisis, serta evaluasi yang cermat atas pemanfaatan data ini.
Pada tahap berikutnya, pada tahun 2023 sistem ini diperluas ke INAPORTNET yaitu sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet untuk mengintegrasikan sistem informasi kepelabuhanan yang standar dalam melayani kapal dan barang dari seluruh Instansi terkait atau pemangku kepentingan di pelabuhan.
Selain itu juga diintegrasikan dengan Kementerian Perindustrian. Selain memasukkan mineral lain seperti nikel dan bauksit, SIMBARA juga akan memvalidasi kuota NTPN dengan lebih cermat.
Penetapan Peraturan Menteri Keuangan PMK 43 Tahun 2023, memberikan substansi baru dengan penambahan sinergi dengan Kementerian Perindustrian dan mengelola data di Lembaga National Single Window (LNSW) dengan data hasil sinergi Kemenperin terkait smelter.
Dalam kerangka ini, validasi volume NTPN menjadi fokus utama. Eksportir dan importir harus memastikan kebenaran dan volume NTPN melalui SINSW (Sistem Informasi NTPN). Jika data tidak akurat, LS (Laporan Surveyor) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar) tidak akan terbit. Eksportir tidak dapat menggunakan NTPN yang telah penuh, sementara importir dapat menggunakan kembali NTPN dengan volume tersisa untuk penerbitan SPB.
Hal ini bertujuan untuk memastikan transparansi, keakuratan data, dan pengawasan yang efisien terhadap PNBP sektor mineral dan batubara. Sehingga dinilai menjadi langkah maju yang signifikan menuju tata kelola keuangan yang lebih baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia. (Shiddiq)