NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radi, mengatakan, masuknya nikel Indonesia ke pasar bursa komoditas internasional London Metal Exchange (LME) dinilai sangat bagus dan tepat karena akan mempermudah Indonesia menjual produk nikel.
Pada 23 Mei 2024, untuk pertama kalinya nikel Indonesia memasuki pasar internasional di bursa perdagangan LME. Setelah melewati persetujuan pencatatan merek nikel olahan pertama dari Indonesia dengan kode DX-zwdx.
Dalam kode LME tersebut, diketahui nikel dari Indonesia itu berasal dari Morowali, Sulawesi Tengah yang dikelola oleh perusahaan PT CNGR Ding Xing New Energy yang merupakan perusahaan patungan antara CNGR Advanced Material asal China dan Rigqueza Internasional Pte asal Indonesia dengan kapasitas produksi 50.000 metrik ton per tahun.
“Saya kira itu bagus dan tepat. Nikel Indonesia ada di bursa internasional LME termasuk produk turunannya itu sehingga tidak perlu mencari pembeli langsung tapi pembeli dari perusahaan atau negara itu bisa mengakses perusahaan sehingga itu akan memudahkan bagi Indonesia untuk menjual nikel dan produk turunannya,” ungkap Fahmy dalam wawancara oleh Media Nikel Indonesia (MNI-nikel.co.id), Senin (24/6/2024).
Menurutnya, ada sisi negatifnya juga seperti adanya aksi spekulasi yang bisa menaikan atau menurunkan harga nikel yang tidak sesuai dengan spekulan dan aksi spekulan ini juga bisa mempengaruhi harga komoditi yang ada di Indonesia.
Dia menilai, saat ini baru satu perusahaan asal Indonesia yang berhasil terdaftar di LME yaitu CNGR dan masih banyak perusahaan nikel Indonesia lainnya. Kedepan, perusahaan-perusahaan tambang nikel Indonesia hulu-hilir harus mampu meningkatkan kualitas sesuai standar ESG agar dapat bersaing ditingkat global.
“Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar nomor satu dunia. Kemudian variasi nikel yang dihasilkan Indonesia itu kualitasnya sudah teruji sehingga sebelumnya negara-negara seperti Eropa Barat lebih menggunakan bijih nikel yang ada di Indonesia untuk industri mereka. Artinya kualitas nikel indonesia sudah teruji,” paparnya.
Menurut Fahmy, dengan masuknya nikel di bursa komoditas Internasional akan lebih memudahkan bagi Indonesia untuk para pembeli dan bisa juga mengurangi dominasi China yang selama ini menguasai perusahaan-perusahaan nikel dan produk turunannya. Bahkan sering sekali karena kebijakan larangan ekspor bijih nikel, yang punya smelter di Indonesia sebagian besar didominasi oleh China maka China dengan seenaknya bisa menetapkan harga jual nikel.
“Jadi dengan masukdi bursa internasional maka harga yang terbentuk untuk nikel dan produk turunannya itu mencerminkan dari ekonomi yang berlaku di pasar global,”ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk industri nikel kedepan, Indonesia harus meningkatkan daya saing agar mampu bersaing di pasar internasional. Selain itu, ia melihat bahwa seharusnya larangan ekspor bijih nikel yang harus dilakukan Indonesia adalah membangun ekosistem nikel dari hulu sampai hilir.
Jadi, tidak seperti sekarang! Sekarang ini memang bijih nikel wajib diolah dulu di pabrik smelter di dalam negeri, tetapi hanya baru menghasilkan produk turunan pertama dan kedua, kemudian itu diekspor dan sebagian besar ekspornya ke China. Di China diolah secara maksimal sehingga yang akan memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi adalah China dibandingkan Indonesia.
“Supaya nilai tambah yang diperoleh Indonesia lebih tinggi maka harus dibangun ekosistem industri yang terkait dari hulu sampai hilir. Misalnya dari bijih nikel sampai mobil listrik dan juga ditengah-tengah itu ada perusahaan baterai, perusahaan stainless steel dan sebagainya yang itu saling terkait. Sehingga tercipalah suatu industri yang sangat bagus dan ini menaikkan nilai tambah yang cukup besar bagi Indonesia,” jelasnya.
Ia menilai, hilirisasi saat ini belum optimal meskipun Fahmy mengakui bahwa memang ada kenaikan nilai ekspor tapi nilai tambah masih sebagian besar di nikmati oleh China melalui dominasi pabrik smelter yang ada di Indonesia. Sehingga kedepan, Indonesia harus memiliki perencanaan yang matang dalam membangun ekosistem industri nikel dari hulu hingga hilir.
Sebagaimana contoh dari Vietnam yang tidak memiliki sumber daya mineral nikel yang melimpah namun mampu menciptakan pabrik baterai dalam negeri dan pabrik kendaraan listrik dalam negeri buatan sendiri. Ini harus dicontoh oleh Indonesia karena kalau ekosistem itu tercipta maka produk-produk seperti baterai dan mobil listrik di Indonesia dengan kualitas yang sama dengan Vietnam tetapi harganya bisa jauh lebih murah karena Indonesia punya bahan baku nikel. Sementara itu, Vietnam harus membeli bijih nikel di pasar inetrnasional.
“Sayangnya, Indonesia tidal melakukan itu! Jadi, hanya melarang ekspor bijih nikel kemudian di smelter di dalam negeri dan di dominasi oleh investor China sehingga yang diuntungkan atau yang menikmati nilai tambah yang terbesar itu adalah China, Indonesia hanya baru sebagian kecil. Tapi kalau tercipta ekosistem dari hulu sampai hilir maka ini akan menciptakan industrialiasasi yang cukup besar dari produk nikel dari hulu hingga mobil listrik dan itu luar biasa kalau bisa begitu,” pungkasnya. (Shiddiq)