NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, konsumsi bijih nikel di dalam negeri tahun 2023 sebesar 193,500 juta ton.
Hal ini ia sampaikan ketika menjadi pembicara pada Sesi lll dalam kegiatan kick off workshop Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) bersama Sekretary Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk pelaksanaan studi dekarbonisasi sektor captive power, di Hotel Sari Pan Pacific, pada Jumat (3/5/2024).
“Sejak tahun 2020 konsumsi bijih nikel Indonesia itu luar biasa drastis meningkat. Di tahun 2021 kebutuhan bijih nikel dalam negeri itu sampai 64 juta ton lebih dan tahun 2022 sekitar 101 juta ton. Kemudian tahun 2023 sebanyak 193 juta ton, menurut data kami (APNI) ada sebesar 193,500 juta ton tapi menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)ada sebanyak 170 juta ton tapi menurut data kami lebih dari 200 juta ton,” kata Meidy dalam acara tersebut.
Menurutnya, pada tahun 2024 ini konsumsi bijih nikel akan semakin bertambah dan diperkirakan kebutuhan konsumsi bijih nikel sebesar 250 juta ton dan ini hanya untuk di dalam negeri. Kebutuhan konsumsi bijih nikel dalam negeri ini rata-rata untuk pemenuhan smelter atau pabrik pengelolaan yang mayoritas menggunakan teknologi pirometalurgi yang menghailkan nikel pig iron (NPI). Konsumsi bijih nikel saat ini masih gret dengan rata-rata nikel kadar tinggi di atas 1,7%.
“Kami dari asosiasi merasa penting untuk mengatur bagaimana sustainability nanti kebutuhan bijih nikel kalau tidak dioptimalisasi mengenai bijih nikel kadar rendah, kita tahu bersama secara total mungkin 70% bijih nikel itu kadar rendah atau dibawah 1,7%,” ujarnya.
Dia menuturkan, pihaknya telah melakukan negosiasi dan memberikan masukan kepada pemerintah untuk membicarkan sustainability untuk cadangan bijih nikel Indonesia. Seperti diketahui bahwa cadangan nikel Indonesia masih sangat melimpah.
“Mudah-mudahan pemerintah mendengar dan kami berusaha untuk meyakinkan pemerintah bagaimana kelangsungan bijih nikel untuk men-support seluruh proses downstream di Indonesia,” tuturnya.
Selain itu, Meidy juga menyebutkan, jumlah furnace yang sudah berdiri di Indonesia hingga Januari 2024 ada total sebanyak 249. Dari 249 rata-rata kebutuhan energi dari pabrik furnace antara 30 mega watt(MW) hingga 50MW dan sudah ada 81 perusahaan pengelolaan nikel dan akan bertambah dua perusahaan yang lounching dan produksi di tahun ini.
Menurut data APNI ada sebanyak 136 pabrik pengelolaan bijih nikel dan dari 136 pabrik ini berasal dari 81 perusahaan. Sedangkan kebutuhan bijih nikel tahun 2024 ada sebanyak 250 – 260 juta ton.
“Kalau semua pabrik berdiri ada sebanyak 136 maka konsumsi bijih nikelnya hampir 500 juta ton per tahun atau 450 juta ton per tahun,” sebutnya. (Shiddiq)