Beranda April 2024 Muchtazar: Teknologi RKEF Dianggap Lebih Cocok Digunakan di Indonesia

Muchtazar: Teknologi RKEF Dianggap Lebih Cocok Digunakan di Indonesia

3213
0
Sustainability Manager Nickle Industries, Muchtazar. (Tangkapan layar youtube Sesna Group)
Sustainability Manager Nickle Industries, Muchtazar. (Tangkapan layar youtube Sesna Group)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Sustainability Manager Nickle Industries, Muchtazar, mengungkapkan, jika teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) banyak digunakan di Indonesia.

“Karena RKEF dianggap merupakan teknologi yang akan cocok untuk karakteristik bijih nikel di Indonesia. Kita kan karakteristiknya nikel laterit, nikel yang dipermukaan, dan itu cocok diolah dengan RKEF,” ucap Muchtazar, dikutip saat wawancara bersama Sesna, Kamis (25/4/2024).

Selain itu, tambahnya, karena biaya prosesnya relatif rendah dibanding alternatif lain. Namun, kelemahan RKEF, meskipun kita sudah melakukan waste to heat recovery, carbon intensity-nya masih relatif tinggi.

“Karena kita perlu melebur logam itu, terutama di furnace, dan itu bisa dibayangkan titik leleh logam itu kan sangat tinggi, energi yang dibutuhkan sangat besar. Seperti itu, melalui proses termal tadi,” katanya.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini di Indonesia terdapat 44 smelter RKEF yang mengolah nikel menjadi baja nirkarat melalui proses pirometalurgi.

Sementara, kepada nikel.co.id, Muchtazar menyebutkan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) sudah diterapkan di Indonesia, termasuk di salah satu aset PT Hengjaya Mineralindo, Huayue Nickel Cobalt (HNC) di IMIP.

Ia menjelaskan, riset terus berjalan dan untuk saat ini, teknologi HPAL dianggap paling efisien untuk tipe nikel di Indonesia. Berbeda dengan karakteristik yang ada di Australia dan Kanada yang memiliki nikel sulfat.

“Jadi, teknologi pengolahannya juga beda. Tapi, kalau untuk HPAL ini mungkin sejauh ini merupakan teknologi yang paling efektiflah untuk pengolahan nikel,” ungkapnya.

Dirinya menjelaskan, HPAL sudah ada beberapa generasi, beberapa tipe. Tipe yang terbaru ini bisa menurunkan intensitas karbonnya, dari 50 sampai sekitar 10 ton karbon dioksida per ton nikel.

“Jadi, memang itu prosesnya sudah cukup efisien. Dan, kita di sini beralih dari tadinya proses termal ke proses kimia. Memang nanti ada masalah atau concern lain, yaitu di-detailing diimbas bahan kimia sisa slag sisa itu nanti mungkin kita bisa atasi dengan dry stack dengan metode-metode pengolahan tailing yang aman cuma dari sisi carbon footprint HPAL ini akan jauh lebih efisien sih ok,” tuturnya. (Lili Handayani)