
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pentingnya sustainability (keberlanjutan) dalam dunia pertambangan untuk menciptakan keseimbangan. Jadi, bukan hanya menggali, mengeruk, dan menjual, tetapi juga memperbaiki, merawat, dan menjaga lingkungan dan sosial. Dengan demikian, kemakmuran dapat tercapai sekligus lingkungan tetap lestari.
Secara umum, keberlanjutan itu adalah sesuatu bisa tetap bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak lingkungan, sehingga bisa tetap menawarkan kehidupan yang baik bagi makhluk hidup di bumi.
Salah satu perusahaan tambang nikel terkemuka dan telah beroperasi selama 55 tahun di Indonesia adalah PT Vale Indonesia Tbk. Korporasi ini menerapkan prinsip keberlanjutan dalam operasinya selama ini.
Senior Manager Communication PT Vale Indonesia Tbk., Suparam Bayu Aji, menyampaikan, keberlanjutan merupakan faktor penting karena menghasilkan efisiensi operasional yang memberikan profit yang besar ke depannya.
“Jadi, buat PT Vale di harga nikel yang sekarang pun kami tetap mendapatkan profit. Kami tetap bisa jalan dengan operasional yang ada. Efisiensi segala macam tentu kita tetap bisa menjalankan proses pengelolaan nikel secara berkelanjutan. Karena buat kami, keberlanjutan adalah faktor penting juga,” kata Bayu dalam acara silaturahmi PT Vale dengan rekan-rekan media, di Jakarta, Senin (1/4/2024).
Menurutnya, banyak orang yang mengatakan penerapan sustainability itu biayanya mahal, namun tidak bagi PT Vale. Justru hal itu membuat perusahaan menjadi penghasil nikel dengan biaya produksi paling rendah karena menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk suplai energinya.
“Di awal, biaya investasinya memang besar sekali, jutaan dolar. Tetapi, sekarang kami menjadi produsen nikel dengan biaya produksi paling rendah di Indonesia,” ujarnya.
Dia menegaskan, sekarang banyak perusahaan nikel yang sedang kebingungan karena harga nikel menurun. Namun, sebaliknya, bagi PT Vale laba tetap meningkat karena penggunaan PLTA dapat menghemat konsumsi seluruh energi perusahaan.
“Karena, sekitar 30% keselurhan biaya produksi itu dari energi dan kami di-support dengan salah satunya dari PLTA. Hampir 94% untuk listriknya saja itu kami dari PLTA. Komponen biaya operasionalnya dari sana,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan, PT vale memliki komitmen untuk menjalankan segala sesuatu dengan menerapkan keberlanjutan karena hal itu adalah value (nilai). Seperti pabrik smelter di Pomalaa Sulawesi, pasokan energi menggunakan PLTA, tanpa batu bara.
“Karena kami sudah sama-sama setuju dengan partner kami agar menggunakan energi yang berkelanjutan,” jelasnya .
Bayu memaparkan, dalam setiap proyek yang dijalankan PT Vale, selain keberlanjutan juga menerapkan unsur hitungan karbon untuk melaksanakan penerapan program carbon capture. Karena, program carbon capture merupakan bagian dari keberlanjutan meski ada yang bilang perlu biaya tambahan.
Semisal, untuk membuat perusahaan pertambangan hingga menjalankan operasi lapangan dibutuhkan sekitar US$100 miliar. Lalu US$53 miliar diperuntukkan untuk biaya penambangan dan sisanya US$47 miliar, sebanyak 25%-nya, digunakan sebelum penambangan, seperti meratakan pohon-pohon, membuat kolam-kolam. Kemudian sisanya sebesar 22% digunakan untuk menanam pohon kembali, pembibitan, humus atau pupuk.
“Jadi, bisa dibayangkan, hanya 53% biaya yang dipakai untuk menambang, sebelum dan sesudah menambang. Jadi, sisanya hampir 47% untuk keperluan program keberlanjutan. Memang besar kalau dilihat angkanya. Tetapi, itu adalah bagian komitmen keberlanjutan sekaligus mitigasi risiko bencana. Jadi, kalau ditanam lagi potensi longsor dan sebagainya jadi berkurang, lingkungan menjadi bagus, airnya tetap bersih. Ini adalah komitmen dari keberlanjutan PT Vale,” paparnya. (Shiddiq)