NIKEL.CO.ID, 13 AGUSTUS 2023 – Presiden Jokowi menyampaikan, bahwa program hilirisasi terutama nikel telah berhasil mendongkrak penerimaan negara yang sebelum tahun 2017 hanya mencapai Rp17 triliun dan kini semenjak diberlakukan hilirisasi awal 2020 pendapatan negara dari nikel mencapai Rp510 triliun akhir 2022.
Namun kebanggaan Presiden Jokowi itu disambut dengan kritikan tajam oleh Ekonom Senior, Faisal Basri, yang menilai hilirisasi nikel lebih banyak menguntungkan China, dikutip laman faisalbasri.com, Minggu, (13/8/2023).
Tudingan itu disampaikan Faisal dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi.
Melalui blog pribadinya, Jumat (11/8), Faisal menilai angka-angka terkait kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun berkat hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumbernya.
“Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” ujar Faisal dalam unggahan blog tersebut.
Faisal mengakui hilirisasi membuat nilai tambah produk ekspor melonjak. Namun, angkanya tak sebesar yang disampaikan Jokowi.
Mengutip data dari keterangan resmi pemerintah dan pelaku bisnis terkait, Faisal menerangkan nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun pada 2014. Angka itu berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per dolar AS.
Pada 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi yang tercatat US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah pada 2022 sebesar Rp14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.
“Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis,” paparnya.
Kendati demikian, menurut Faisal, uang hasil ekspor itu tidak benar-benar mengalir ke Indonesia. Menurutnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Selain itu, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Hal ini berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor.
“Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” ujarnya.
Faisal menilai, keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.
“Nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahaan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional,” urainya.
Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
“Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” sambungnya.
Pernyataan Faisal tercermin dari peranan sektor industri manufaktur yang terus menurun, dari 21.1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir. Padahal, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel, sambung Faisal, juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Pasalnya, hampir separuh ekspor HS 72, yang menjadi acuan nilai tambah yang tercipta dari pengolahan nikel, adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, nickel pig iron dan nickel mate. Artinya, produk tersebut harus diolah lebih lanjut.
“Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia,” jelasnya.
Menurut perhitungannya, nilai tambah smelter nikel sebagian besar dinikmati perusahaan China. Indonesia hanya menikmati 10 persen.
Hal itu bukan tanpa alasan. Pertama, hampir seluruh smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Kedua, hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China.
Ketiga, banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, Faisal menduga pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.
“Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$100 per pekerja per bulan,” jelasnya.
Tak sampai di situ, perusahaan smelter China juga mendapatkan keuntungan semakin besar karena bisa membeli bijih nikel dengan harga super murah dan lebih rendah dari harga internasional.
Sebagai pembanding, harga nikel 1,8 persen pada Juli-September 2021 di Shanghai Metal Market (SMM) mencapai US$82,7 per ton. Sementara, harga patokan mineral logam di Indonesia hanya US$40,9 per ton.
“Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan, tetapi nilainya amatlah kecil,” tandasnya.
Atas kritik tersebut, Presiden Joko Widodo menjawab dengan ringan dengan mengatakan, kebijakan hilirisasi industri justru meningkatkan nilai ekspor sumber daya alam Indonesia, seperti nikel yang melonjak menjadi Rp 510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor nikel mentah.
“Hitungan dia bagaimana, kalau hitungan kita ya, saya berikan contoh nikel. Saat diekspor mentahan, bahan mentah, setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp 510 triliun,” kata Presiden Jokowi saat dalam keterangan pers usai menjajal kereta LRT Jabodebek di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (10/8/2023).
Jokowi menuturkan, dengan meningkatnya nilai ekspor tersebut, pemerintah akan mendapat pemasukan yang lebih besar.
Dia menyebutkan, ada banyak pintu pemasukan yang diterima negara, antara lain, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan perusahaan, pajak penghasilan karyawan, royalti, bea ekspor serta penerimaan negara bukan pajak.
“Bayangkan saja, kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun gede mana?” tuturnya.
Sementara, Punggawa Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Deputi Investasi dan Pertambangan, Kemenko Marves, Septian Hario Seto, mencoba meluruskan cara berfikir Ekonom Senior INDEF tersebut dengan sebuah tulisan yang berjudul: Sesat Berfikir Hilirisasi Faisal Basri, dalam pesan elektronik yang diterima nikel.co.id, Minggu, (13/8/2023) kemarin.
Septian Hario Seto sengaja membuat jawaban ketika dalam perjalanan pesawat dari New York ke Jakarta. Menurutnya, dia mendapatkan pesan bertubi-tubi dari beberapa rekan wartawan terkait dengan bantahan dari Faisal Basri terhadap statement Bapak Presiden terkait dengan hilirisasi nikel.
Bantahan utama faisal basri adalah hilirisasi nikel 90% hanya menguntungkan investor tiongkok dan data-data yang disampaikan oleh Presiden Jokowi menyesatkan.
Selanjutnya, ada lima klaim Faisal Basri di dalam artikel bantahannya yang menurutnya tidak tepat, yaitu:
(1) Angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp 510 trilyun yang disampaikan Presiden Jokowi salah,
(2) Pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel,
(3) Pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada para smelter,
(4) Nilai tambah hilirisasi nikel 90% dinikmati investor Tiongkok,
(5) Kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun.
“Saya akan menjawab klaim tersebut satu persatu secara ringkas dengan data-data yang memadai. Jika teman-teman ingin membaca data lebih detail bisa membaca dokumen pdf yang saya lampirkan juga,” kata Hario Seto, Senin, (14/8/2023).
Pertama, menurut dia, terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp 510 trilyun yang disampaikan Presiden Jokowi salah karena menurut hitungan dia angkanya Rp 413.9 trilyun.
Kesalahan utama Faisal Basri disini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27.8 milyar atau Rp 413.9 trilyun. Padahal hilirisasi nikel kita juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75.
Tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah US$ 3.8 milyar dan US$ 2.1 milyar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73.
“Jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah US$ 34.3 milyar atau Rp 510.1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan,” jelasnya.
Kedua, lanjut dia, klaim faisal basri bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun.
Disini Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah.
Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar 30 trilyun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun.
“Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar,” ujarnya.
Hario Seto mengungkapkan, berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rata-rata perusahaan smelter yang memperoleh tax holiday 7-10 tahun. Hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, dimana saat ini hanya 1 yang beroperasi.
“Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan,” ungkapnya.
Kemudian yang ketujuh, dia menuturkan, untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan.
Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.
Penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17.96 trilyun, atau naik sebesar 10.8x dibandingkan tahun 2016 sebesar 1.66 triliun.
“Untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp 7.36 trilyun atau *naik 21.6x dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp. 0.34 triliun,” tuturnya.
Selain itu, Hario Seto memaparkan, jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar US$ 0.11 milyar (Rp 1.55 trilyun) atau 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1.1 milyar.
“Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3.99 trilyun di tahun 2019,” paparnya.
Dia menerangkan, jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data diatas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini.
Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi.
Lalu, pemberian Tax holiday seperti kegiatan mancing (kebetulan hobi saya). Kalau mau mendapatkan ikan yang besar dan banyak, kita perlu mengeluarkan modal untuk beli/sewa kapal, peralatan, umpan dan memperkerjakan kapten kapal dan kru ABK yang mumpuni. Semua itu tentu saja tidak gratis.
Tax holiday pun sama, kebijakan insentif ini kita gunakan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia dan berkontribusi kepada perekonomian nasional. Kita gak bisa mendapatkan ikan besar hanya dengan duduk diam di pinggir pantai sambil bengong.
Ketiga, ia mengatakan, terkait klaim Faisal Basri bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel yang “murah” kepada smelter, dimana selisih di dalam negeri dengan harga internasional bisa mencapai puluhan dolar/ton dengan menggunakan data tahun 2022.
Terkait klaim ini, sebagai seorang yang belajar ekonomi, Faisal Basri tentu mengetahui hukum supply dan demand. Bahwa jika supply menurun sementara demand tetap, maka akan ada kenaikan harga.
Hal inilah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020-saat ini, harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang, sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan supply dari Philippina dan beberapa negara lain. Padahal Indonesia adalah supplier terbesar bijih nikel ke Tiongkok sebelumnya.
Artinya, lanjut dia, jika ekspor bijih nikel indonesia kembali dibuka, maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari indonesia, sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil.
“Untuk itu, saya membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama. Berdasarkan data yang saya peroleh selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1.7% dan MC 35% hanyalah $ 5.5/ton dan US$ 6.9/ton masing masing di tahun 2018 dan 2019,” imbuhnya.
Selisih ini, menurut dia, berdasarkan temuan Kemenko Marves pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1.7% (batas maksimum kualitas ekspor saat itu).
Hario Seto juga menegaskan, terkait penalti dan beban biaya lain yang harus ditanggung oleh penambang nikel, memang benar pernah terjadi pembebanan yang tidak fair oleh smelter kepada para penambang. Hal ini disebabkan karena jumlah smelter yang sedikit dibandingkan dengan volume produksi bijih nikel dalam negeri yang besar.
Namun sejak diberlakukan Permen ESDM 11/2020 dan tindakan enforcementnya kasus-kasus tersebut jauh berkurang, apalagi kondisi saat jumlah smelter yang sudah cukup banyak justru menciptakan kekurangan supply bijih nikel.
“Menurut informasi terakhir yang saya terima dari para pelaku, harga beli bijih nikel saat ini bukan lagi HPM + $2, tapi bisa jauh lebih besar dari itu apalagi untuk yang mau berkontrak jangka panjang,” tegasnya.
Kendati demikian, dia mengakui, memang masih ada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait hal ini, antara lain enforcement terhadap aturan Environment Social Governance (ESG), dan juga beberapa aspek tata Kelola nikel yang lain.
Namun, jika Faisal Basri menyatakan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada smelter, hal itu adalah berlebihan.
Kemudian yang keempat, ia menurut terkait klaim Faisal Basri bahwa nilai tambah dari hilirisasi nikel 90% dinikmati oleh investor Tiongkok. Dalam hal ini cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal Basri salah.
Jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100% dinikmati oleh negara lain. Jadi negara asing 100% dan Indonesia 0%. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.
Ia juga menerangkan, bagaimana jika sama-sama mengukur nilai tambah hilirisasi lebih detail? Prinsipnya sederhana, yaitu menghitung seberapa besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk memproses bijih nikel menjadi nikel pig iron (produk smelter).
Sumber daya tersebut bisa dalam bentuk tenaga kerja, teknologi, listrik dan bahan baku lainnya. Lalu kita menganalisis, pihak mana (dalam negeri atau luar negeri) yang menikmati manfaat dari sumber daya tersebut.
Namun demikian, berdasarkan analisis yang Hario Seto lakukan, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday), dan 48% adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Dari 48% angka tersebut, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batubara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain. Sehingga hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari LN. Berdasarkan hitungan tersebut, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16% ditambah komponen laba operasi 12%, sehingga menjadi 28%.
Sehingga, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.
Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, sudah tidak mendapatkan tax holiday, atau bahkan ada keterlibatan investor lokal, seperti Harum Energy, Trimegah Bangun Persada dan Merdeka Battery Materials.
Selanjutnya, satu hal lain yang cukup penting adalah mayoritas dari investasi hilirisasi nikel di lakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa.
Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini.
Kemudian, menurutnya untuk IMIP jumlah pekerja saat ini mencapai 74.7 ribu orang dan IWIP sekitar 56ribu orang. Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI, Gunbuster, dan Pulau Obi.
Dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini). Angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37.2% dan 32.5% di 2014 menjadi 30.8% dan 27.9% di tahun 2022.
Untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90% dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR, tidak seperti klaim Faisal Basri. Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai 7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta
“Meskipun angka saya di atas adalah estimasi, tapi saya cukup yakin angka saya lebih akurat dibandingkan klaim Faisal Basri yang menyebutkan hanya 10% nilai tambah di dalam negeri yang dinikmasi dari hilirisasi nikel ini,” ungkapnya.
Kemudian yang kelima, dia menerangkan, terkait klaim bahwa kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun. Dalam mencapai kesimpulan ini, Faisal Basri tidak menganalisis data dengan cermat.
Memang benar kontribusi industri pengolahan menurun pada periode 2014 dibandingkan 2022, namun hal itu sebagian besar disebabkan karena turunnya kontribusi subsektor industri batubara dan pengilangan migas, industri alat angkutan dan industri kayu, alat dari kayu dll yang turun masing-masing hingga 1.3%, 0.5% dan 0.4% terhadap PDB.
Sementara itu, kontribusi subsektor industri logam dasar terhadap PDB justru meningkat 0.1%, utamanya didorong oleh hilirisasi nikel. Tanpa ada hilirisasi nikel, penurunan kontribusi industri pengolahan tentunya akan lebih turun.
Dari segi kinerja hilirisasi nikel dalam mendorong industrialisasi terlihat di level provinsi. Sejak tahun 2014 hingga 2022, provinsi dimana hilirisasi nikel terjadi mengalami peningkatan share industri manufaktur yang signifikan.
Kontribusi industri pengolahan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan hingga 34,4 persen, sementara kontribusi industri pengolahan di Maluku Utara mengalami peningkatan hingga 24.0 persen.
Hario Seto juga mengatakan, terkait pendalaman industri, semuanya membutuhkan proses. Ini bukan sulap atau sihir yang bisa terjadi seketika. Perlu diingat kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan secara konsisten sejak awal 2020, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel.
Sebelumnya pernah ada pelarangan, namun tahun 2017-2019 sempat diizinkan kembali ekspor bijih nikel. Jadi baru kurang lebih 3 tahun kebijakan hilirisasi nikel ini.
Dia membandingkan, apa dampak konsistensi hilirisasi nikel ini selain sektor besi baja? Indonesia mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium. Nikel kadar rendah Indonesia yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium.
Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar.
Hal ini tentunya, perlu diketahui bahwa untuk membuat baterai lithium membutuhkan ekosistem industri yang kompleks. Tidak hanya dibutuhkan nikel, tetapi juga produk hilirisasi cobalt, aluminum, tembaga, lithium dan lain-lain.
Tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah.
Hasilnya, menurut dia, saat ini Indonesia sedang membangun lithium refinery di Morowali, yang bahan mentah lithiumnya diimpor dari Australia dan Afrika. Indonesia juga sedang membangun pabrik copper foil untuk bahan lithium baterai, lokasinya persis didepan smelter tembaga yang dibangun freeport di Gresik.
“Kita juga sedang membangun pabrik Anoda di Morowali juga dengan kapasitas 80ribu ton, dimana pabriknya belum selesai tapi 100% produknya sudah dipesan semua. Mereka tidak perlu pusing mencari pembeli,” ujarnya.
Dia menguraikan, PT Antam juga saat ini sedang memfinalkan negosiasi dengan CATL dan LG Chemical, dua perusahaan baterai terbesar di dunia, untuk membangun ekosistem baterai lithium dari hulu sampai hilir. Tidak mudah untuk meyakinkan para investor tersebut, dan negosiasi bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Untuk pabrik baterai sendiri, Indonesia akan memiliki pabrik baterai lithium (cell dan pack) pada tahun depan, saat pabrik baterai lithium yang dibangun LG dan Hyundai selesai konstruksi.
“Kapasitasnya sekitar 10GWh, cukup untuk membangun 120ribu mobil EV. Kami sudah melakukan mapping supply chain untuk baterai lithium dan mana saja target investasi yang akan kita peroleh,” urainya.
Sekali lagi dia menegaskan, sebagai Deputi Investasi dan Pertambangan di Kemenko Marves, dirinya banyak bertemu dengan berbagai macam investor baik dari sektor keuangan ataupun pemain dalam industrinya.
Dari berbagai pertemuan tersebut, semuanya menyatakan apresiasi atas transformasi struktural melalui hilirisasi nikel ini. Tidak sedikit yang menyampaikan minatnya untuk melakukan investasi tambahan meskipun bukan dalam sektor nikel.
Saat ini Pemerintah sedang memproses investasi strategis dalam bidang petrokimia, solar panel dan fiberglass. Semuanya memiliki turunan industri yang sangat banyak
Dalam pertemuan dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva hari Rabu tanggal 9 Agustus 2023 yang lalu, Beliau menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia.
“Beliau juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia melalui Pak Luhut, jika laporan IMF yang keluar baru-baru ini menimbulkan polemik di Indonesia. Pak Luhut dan Ibu Kristalina memang sahabat baik yang sudah terbangun sejak tahun 2018, jadi keduanya bisa berbicara secara terbuka dan dari hati ke hati,” tegasnya.
Menurut Hario Seto, jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai bilang Presiden Jokowi menyampaikan data yang menyesatkan.
Terakhir, ungkap dia, ada satu pertanyaan yang cukup banyak dia peroleh akhir-akhir ini, yaitu bagaimana kelanjutan program hilirisasi dan transformasi ekonomi setelah Presiden Jokowi selesai pada tahun 2024? Pertanyaan seperti ini cukup bertubi tubi ia terima.
Jawabannya tentu saja akan berlanjut karena ini sudah menjadi program pemerintah. Meskipun saya tidak tahu apakah para investor ini puas dengan jawaban saya.
“Masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan,” tutupnya. (Shiddiq)