NIKEL.CO.ID, 4 AGUSTUS 2023 – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, bila pemerintah menerapkan pajak ekspor nikel saat ini ditengah harga nikel yang sedang turun akan memberatkan para pengusaha nikel.
“Saya rasa saat ini jika pemerintah menetapkan pajak eksport disaat harga sedang jatuh ini akan memberatkan pengusaha,” kata Meidy sapaan akrabnya kepada nikel.co.id, Jumat (4/8/2023).
Menurutnya, berdasarkan data saat ini (USGS 2022) Indonesia no 1 untuk produsen nikel terbesar dunia yaitu 1.6jt metrik ton. Sampe bulan July 2023 pabrik pirometalurgy di Indonesia sudah mencapai 53 pabrik yang beroperasi dengan 179 line furnace, dan pabrik hidrometaurgy sudah ada 4 pabrik yang berdiri.
“Namun kondisi Data hari ini, saat ini harga nikel dunia sedang dalam posisi kurang bagus, hari ini LME 21.745 dari shanghai pembelian NPI Indonesia sebesar RMB 1100/1% (inc tax and weigt),” ujarnya.
Dia menuturkan, apalagi baru saja direlease Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 (PP36) tentang jaminan 30% di bank nasional untuk eksportir.
Hal inilah yang mendasari ide dan rencana APNI mengajukan ke pemerintah untuk membentuk INDONESIA NICKEL PRICE INDEKS, karena harga HPM/bijih nikel yang di release APNI setiap bulan berbasis LME average 3 bulan terakhir.
Sedangkan produk nikel berbasis harga Shanghai on spot, terdapat perbedaan GAP sekitar 35-38%, yaitu perbedaan antara bahan baku dan produk nikel.
“Manfaatnya jelas, penerapan pajak ekspor ini memiliki tujuan untuk mendorong hilirisasi nikel menjadi produk-produk seperti baterai kendaraan listrik,” tuturnya.
Meidy memaparkan, pemerintah berupaya memberikan dorongan supaya investasi ke produk nikel tak hanya berhenti pada bahan mentah hasil aktivitas upstream seperti NPI dan FeNi, melainkan ke produk turunan nikel lainnya.
Jadi, pengenaan pajak ekspor nikel sebagai langkah dukungan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan hilirisasi pertambangan di dalam negeri. Pajak ekspor bukan hanya untuk keuangan negara, tapi sebagai instrumen memperkuat struktur ekonomi Indonesia.
Langkah pemerintah, kata Sekum APNI, mengembangkan hilirisasi nikel bisa menimbulkan neraca pembayaran Indonesia. Trade account menjadi lebih baik karena ekspor yang terjadi bukan berupa barang mentah, melainkan produk bernilai tambah yang sudah melalui proses hilirisasi di dalam negeri.
“Ini menimbulkan nilai tambah dan meningkatkan daya tahan dari eksternal dan struktur ekonomi Indonesia,” paparnya.
Selain itu, menurut dia, dampak dari pemberlakuan pajak ekspor nikel terhadap industri pertambangan dan perdagangan di Indonesia belum saatnya.
“Kondisi saat ini belum memungkinkan, dan dampak terhadap pengusaha akan menimbulkan sentiment negative,” ujarnya.
Ia menjelaskan, bila pajak ekspor diberlakukan maka faktor dan asumsi yang harus dipertimbangkan dalam penentuan usulan tariff Bea Keluar:
Project Cash Flow
Revenue =
Harga Komoditas Nikel (LME Price) &
Discount Produk Turunan Nickel (FeNi / NPI discount)
Cost =
Biaya Bahan Baku Nikel (LME Price)
Biaya Operasional Listrik (HBA Batubara & Market Discount)
Biaya Pajak (Penerapan Tax Holiday, dividen tax:
1. Bea Keluar dihitung dengan mempertimbangkan Project Cashflow dari smelter NPI/FeNi yang ada di Indonesia
2. Project Cashflow tersebut akan menjadi pendapatan bagi Investor (dividen) maupun pemerintah (PPh, royalty, Bea Keluar, etc)
3. Usulan Bea Keluar dihitung berdasarkan target porsi bagian pemerintah terhadap project cashflow
Pada Studi Marves terkait bea keluar, dilakukan beberapa penyesuaian antara lain:
1. Menambahkan Bea Keluar sebagai pendapatan negara
2. Memperhitungkan Pajak Dividen sebesar 15% (nilai tengah dari 10% – 20%)
1. Memperhitungkan pajak pegawai sebesar 15%
2. Kebijakan Tax Holiday juga akan mempengaruhi usulan tariff BK.
Menyoal dampak hilirisasi nikel terhadap penciptaan lapangan kerja di Indonesia, Meidy menyampaikan, di Sulawesi Tengah (Sulteng) sebelum hilirisasi hanya sebanyak 1800 Tenaga Kerja (TK), dan setelah hilirisasi meningkat sebanyak 71.500 TK. Sedangkan untuk di Maluku Utara (Malut) sebelum hilirisasi ada sebanyak 500 TK, setelah hilirisasi mencapai 45.600 TK.
Meidy juga menerangkan, perihal posisi Indonesia dalam pasar nikel dunia setelah pemberlakuan pajak ekspor dan upaya hilirisasi. Menurutnya hal ini yang harus di aware dengan berbagai regulasi yang baru muncul.
“Jangan sampai investor down dan pilih negara lain, seperti Afrika Selatan yang saat ini memberikan banyak fasilitas dan untuk baterai mereka punya source lengkap, nikel, kobalt, litium,” terangnya.
Selain itu, dia mengungkapkan, besaran nilai investasi industri hilirisasi nikel di Indonesia saat ini diantaranya, produk turunan 2014-2015 = eksport sebelum 31 Trilyun (2.1 bio), setelah 510 trilyun (33.8 bio US$).
Ia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pada 2015, ekspor barang mentah dari nikel mencapai Rp 31 triliun. Kini nilai ekspor nikel sudah mencapai Rp 510 triliun.
“Tadi angkanya Rp 31 triliun, negara pasti akan pungut pajak PPN, PPh, royalti, penerimaan negara bukan pajak, dari angka Rp 31 triliun. Kemudian melompat menjadi Rp 510 triliun juga dipungut PPN, PPh, royalti penerimaan negara bukan pajak (PNBP), gede mana negara akan dapat,” ujarnya.
Presiden Jokowi juga menyadari kebijakan hilirisasi nikel kini ditentang banyak pihak di dunia. Meski demikian, Presiden Jokowi tetap melanjutkan kebijakan tersebut karena memberikan dampak yang nyata terhadap negara. Data tersebut belum termasuk yang tengah berkembang di Morowali, Sulawesi Tengah.
Meidy juga menjelaskan, terkait upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan pengusaha pertambangan nikel dalam rangka meningkatkan investasi di sektor hilirisasi nikel, yaitu bila pajak atas ekspor komoditas nikel terealisasi, pemerintah tampaknya perlu menyediakan dan mendukung ekosistem hulu dan hilir industri nikel.
Penerapan kebijakan ini harus mempertimbangkan ketersediaan fasilitas industri hilir di Indonesia, yakni industri yang bisa menyerap produk-produk yang telah dihasilkan oleh smelter nikel dalam negeri dan mengolahnya lebih lanjut menjadi produk akhir, seperti baterai kendaraan listrik (Electronic Vehicle/ EV battery).
“Apabila tidak sejalan dengan ketersediaan fasilitasnya, maka pajak yang diterapkan bisa malah menghambat perkembangan industri nikel dalam negeri,” jelasnya.
Sementara itu, untuk jenis produk hilir nikel yang sedang dikembangkan atau diprioritaskan dalam program hilirisasi adalah industri yang bisa menyerap produk-produk yang telah dihasilkan oleh smelter nikel dalam negeri.
“Dan mengolahnya lebih lanjut menjadi produk akhir seperti baterai kendaraan listrik (Electronic Vehicle/ EV battery)” tuturnya.
Dia menjelaskan, mengenai respons pasar internasional terhadap produk-produk hilir nikel yang dihasilkan melalui program hilirisasi sangat positif.
“Moskos, Eropa, Amerika, mereka tertarik terhadap produk hilir nikel tetapi mereka konsen tentang ESG (Environment, Social and Governance),” jelasnya.
Ia juga menyatakan, bahwa prospek industri hilirisasi nikel Indonesia sangat baik. “CERAH,” tutup Meidy. (Shiddiq)