Beranda Asosiasi Pertambangan HMA Nikel Juli Turun, Eksportir Batu Bara Keberatan dengan PP 36/2023

HMA Nikel Juli Turun, Eksportir Batu Bara Keberatan dengan PP 36/2023

1228
0

NIKEL.CO.ID, 25 JULI 2023 – Setelah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Mineral Logam Acuan (HMA) nikel dan Harga Batu-batu Acuan (HBA), Senin, 17 Juli 2023 kemarin, melalui Surat Edaran Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No.: 183.K/MB.01/MEM.B/2023 berada di kisaran US$21.376,75 per dmt (dry metric ton)

HMA nikel Juli 2023 lebih rendah dibandingkan Juni lalu sebesar US$1.940,25. Penurunan HMA nikel ini tentu membuat pengusaha nikel menjerit karena pendapatannya akan ikut berkurang. 

Hal tersebut juga dirasakan oleh para pengusaha batu bara yang merasa terbebani dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Dana Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) yang diteken Presiden Joko Widodo, 12 Juli 2023 lalu. 

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA), Pandu Sjahrir, mengatakan, sebagai mitra pemerintah, pihaknya mendukung penguatan cadangan valuta asing nasional. Perusahaan-perusahaan anggota juga telah berupaya mengikuti aturan PP No. 1 Tahun 2019. 

“Namun, kami, APBI-ICMA, melihat penerbitan PP 36/2023 yang mengatur kewajiban penempatan DHE SDA akan menambah beban perusahaan di tengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional,” kata Pandu melalui siaran pers yang diterima nikel.co.id, Selasa (25/7/2023). 

Menurutnya, hal ini akan menyulitkan perusahaan dalam mengatur arus kas untuk berbagai kebutuhan mendesak, termasuk pembayaran ke kontraktor serta para vendor lainnya.

Dia meminta kepada pemerintah untuk membuka ruang konsultasi atau diskusi dengan pelaku usaha untuk membahas peraturan pelaksanaan dari PP 36/2023 tersebut agar kewajiban penempatan DHE SDA dapat berlangsung dengan baik dengan tetap menjaga keberlangsungan kegiatan usaha eksportir SDA.

“Termasuk eksportir batubara yang selama ini menjadi kontributor penting bagi perekonomian nasional,” ujarnya. 

Pandu menuturkan, ekspor komoditas batubara selama ini menjadi salah satu andalan perekonomian nasional, baik melalui penerimaan negara, pajak dan non-pajak, devisa ekspor, maupun penciptaan lapangan kerja. 

“Kontribusi dari sektor industri pertambangan batu bara sangat penting dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional,” tuturnya.

Namun, menurut dia, dengan terbitnya PP No. 36 Tahun 2023 tersebut menimbulkan kewajiban baru yang menambah beban eksportir.

PP yang menggantikan PP No. 1 Tahun 2019, akan berlaku efektif per 1 Agustus 2023 tersebut antara lain, mengatur kewajiban penempatan minimal 30% dari DHE SDA ke sistem keuangan Indonesia selama paling kurang 3 bulan. 

Aturan tersebut tentu akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas (cash flow), terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30% maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan ditengah tren penurunan harga.

“Serta semakin meningkatnya beban biaya operasional,” urainya. 

Ia memaparkan, sejak semester 2 tahun 2022 tren harga batubara mengalami penurunan yang tajam sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat. 

Biaya operasional penambang batubara di tahun 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25% akibat kenaikan biaya bahan bakar, stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi, pengaruh inflasi dll. 

Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti. 

Tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang tarif 3-7% menjadi 5-13% yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 yang lalu. 

Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (eksPKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28% yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2022.

“Selain itu, perusahaan eksportir batubara juga tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam 2 tahun terakhir ini akibat masih lebarnya gap/disparitas antara Harga Batubara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual,” papar Ketum APBI-ICMA. 

Pandu menilai, sampai saat ini sejak awal 2022, lebarnya gap antara HBA dan harga jual aktual menyebabkan perusahaan membayar kewajiban pembayaran royalti menjadi jauh lebih besar. 

Sehingga dengan beban semakin tinggi sementara tren harga terus turun maka profit margin semakin tergerus jauh dibawah 30% sehingga berpengaruh terhadap modal usaha. 

“Hal ini menambah beban eksportir yang dituntut untuk melakukan dekarbonisasi di era transisi energi sementara pendanaan (funding) untuk proyek-proyek berbasis batubara semakin sulit,” pungkasnya. (Shiddiq) 

Artikulli paraprakCEO PT Vale Optimistis GMP Kuatkan Industri Nikel
Artikulli tjetërMBMM: Pabrik Baterai Terbesar Rampung Dua Tahun Lagi