Beranda Berita Nasional Pertamina Miliki Saham IBC, Diduga akan Hambat Industri Baterai Listrik

Pertamina Miliki Saham IBC, Diduga akan Hambat Industri Baterai Listrik

310
0

NIKEL.CO.ID, 18 JULI 2023 – Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Patijaya, menduga kepemilikan saham PT Indonesia Battery Corporation (PT IBC) oleh PT Pertamina Tbk, ada unsur untuk menghambat berkembangnya industri baterai listrik.

NIKEL.CO.ID, 18 JULI 2023 – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya, menduga kepemilikan saham PT Indonesia Battery Corporation (PT IBC) oleh PT Pertamina Tbk, ada unsur untuk menghambat berkembangnya industri baterai listrik.

“Langkah pembelian saham PT IBC tersebut menjadi salah satu strategi bisnis atau langkah Pertamina untuk ‘menghambat’ atau bahkan mematikan industri baterai listrik tersebut,” sebut Bambang yang dikutip laman DPR, Selasa, (18/7/2023).

Menurutnya, dia pernah membaca sebuah buku pengantar Manajemen di tahun 1995, dalam buku itu mengisahkan permasalahan sejarah bisnis industri di Amerika. Buku itu bercerita tentang Pabrik Otomotif Tesla yang meliputi industri mobil listrik hadir lebih awal.

“Hingga kemudian dibeli GE dengan GM (General Motor)-nya yang merupakan perusahaan mobil terbesar di Amerika saat itu. Ternyata Tesla dibeli untuk dimatikan, karena dapat mengganggu bisnis GM,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia mempertanyakan keikutsertaan BUMN Pertamina tersebut yang telah menguasai saham IBC. Hal ini karena kedua perusahaan itu memiliki core business yang bertolak belakang.

Selain itu, Bambang mengungkapkan, menurut pemaparan Direktur Utama PT IBC, ada beberapa perusahaan BUMN yang ikut dalam kepemilikan saham perusahaan yang bergerak di bidang baterai tersebut dan salah satunya adalah PT Pertamina.

“Ini sangat aneh, karena antara PT IBC dan Pertamina memiliki core business yang bertolak belakang,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, IBC adalah salah satu perusahaan BUMN baru yang bergerak dalam industri baterai listrik yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, saat ini dan kedepannya, industri baterai listrik ini akan digunakan sebagai pengganti BBM.

“Sehingga, transportasi berbasis kendaraan listrik belakangan tengah digalakkan pemerintah,” jelasnya.

Sedangkan Pertamina, secara umum orang sudah mengetahuinya, yaitu perusahaan BUMN di bidang energi yang menggunakan energi fosil seperti batubara dan lain sebagainya.

Sehingga, ia menilai, hal ini sangat aneh jika Pertamina ikut terlibat dalam pengembangan industri listrik, yang notabene berlawanan atau berseberangan dengan bisnis utama Pertamina selama ini.

Oleh sebab itu, Bambang berharap, agar kedua BUMN tersebut berjalan di bidang dan bisnisnya masing-masing. Lebih lanjut, ia juga meminta agar Kementerian ESDM turun tangan mengatasi hal ini.

“Hal tersebut semata untuk mengembangkan green energy atau energi hijau, khususnya penggunaan kendaraan listrik,” tegasnya.

Dalam pemberitaan, seperti dikutip bisnis.com, IBC telah menargetkan pembangunan pabrik baterai mobil listrikakan rampung pada periode 2025/2026. IBC merupakan kendaraan dari induk usaha tambang pelat merah MIND ID yang bekerja sama dengan dua raksasa produsen baterai global, PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL) asal China dan LG Energy Solution asal Korea Selatan (Korsel).

Kerja sama ini memiliki komitmen investasi senilai US$15 miliar yang akan dikucurkan untuk pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik di Tanah Air.

Bersama dua mitra luar tersebut, IBC akan membangun pabrik berkapasitas sebesar 10 GWh dan 15 GWh. Untuk kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik masih di impor sebanyak 20%.

Untuk kebutuhan bahan baku utama berupa nikel relatif tersedia dengan jumlah cukup untuk menopang inisiatif industri kendaraan listrik di dalam negeri. Bahan baku itu dipenuhi melalui PT Aneka Tambang Tbk, (ANTAM).

IBC ditargetkan berdasarkan milestone menjadi market leader di Asia Tenggara. Namun sejumlah bahan baku utama lainnya, seperti lithium hydroxide dengan kebutuhan sekitar 70.000 ton per tahun masih diimpor dari China, Australia, hingga Chile. 

Adapun, proses pemurnian sekaligus pengolahan dua komoditas mineral logam itu ada di China.

Selain itu, graphite sebagai salah satu bahan baku pembentuk baterai kendaraan listrik juga masih diimpor dari China, Brasil, dan Mozambik dengan volume mencapai 44.000 per tahun.

Beberapa mineral logam lain yang ikut diimpor, antara lain mangan sulphate dan cobalt sulphate yang pembeliannya masing-masing 12.000 per tahun. (Shiddiq)

Artikulli paraprakKorporasi Jepang Incar Potensi Investasi Nikel dan Kobalt di Indonesia
Artikulli tjetërWapres Minta Pemkab Fokuskan Komoditas Unggulan Bangun Ekonomi Daerah