NIKEL.CO.ID, 20 JUNI 2023 – Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan, latar belakang perlunya pembentukan Indonesia Nikel Price Index (INPI) di dalam negeri karena adanya ketimpangan harga bijih nikel dengan olahan bijih nikel.
Hal itu disampaikan, Meidy, dalam wawancara di televisi CNBC Indonesia yang mempertanyakan harga nikel yang bleeding dan bagaimana cara pemerintahan membentuk INPI, serta apakah INPI akan mampu mengangkat harga nikel, Senin, 19 Juni 2023, kemarin.
“Sebenarnya APNI mencoba untuk mengajukan ide kepada pemerintah mulai dari pertengahan tahun kemarin, melihat dengan kondisi yang ada, bagaimana ketimpangan antara harga bijih nikel dan pengolahan bijih nikel,” katanya.
Menurutnya, sebelum membicarakan INPI, maka harus dipahami lebih dahulu mengenai harga bijih nikel yang setiap akhir bulan pemerintah mengeluarkan rilis penetapan harga nikel. Formulasi penetapan harga nikel dalam negeri ini diambil oleh pemerintah berdasarkan kesepakatan bersama tiga bulan sebelumnya dari harga patokan London Metal Exchange (LME).
Untuk penetapan Harga Mineral Acuan (HMA) dikeluarkan oleh Menteri ESDM sebagai dasar perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM), yang mengacu pada Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 serta Kepmen ESDM No. 2946 K/30/MEM/2017.
Dalam Kepmen itu tertuang bahwa HMA Nikel adalah harga logam nikel dalam cash seller and settlement yang dipublikasikan LME rata-rata dari tanggal 20 dua bulan sebelum periode HPM sampai tanggal 19 satu bulan sebelum periode HPM.
“Dengan formulasi yang sudah kita sepakati pada 2020, dan itu dituangkan dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2020,” urainya.
Dia menjelaskan, terkait pelaksanaan patokan harga nikel ini dalam satu atau dua tahun terakhir antara 2022 – 2023 proses produksi olahan bijih nikel menurun drastis.
Hal ini karena patokan harga yang ada untuk olahan nikel, seperti nickel pig iron (NPI), feronikel, nikel matte, nikel sulfat atau olahan nikel dari Indonesia yang dikirim ke berbagai negara, terutama 90% ke China, masih menggunakan basis harga on spot Shanghai Price atau Shanghai Metal Exchange (SMM).
“Jadi, ada terjadi gap yang beda untuk raw material atau produk raw material berbasis LME; sedangkan produk olahan berbasis SMM, kami menghitung kemarin gapnya itu sekitar 30% lebih, dan itu tidak fair juga,” jelasnya.
Melihat kondisi saat ini, Meidy mengungkapkan, Indonesia saat ini sudah menjadi top buyer global untuk nikel olahan.
“Kayaknya sudah waktunya Indonesia itu mempunyai harga sendiri. Tidak tergantung lagi dengan London atau Shanghai atau negara lainnya,” ungkapnya.
“Jadi, kita punya brand sendiri, bukan hanya kita berbicara price, tapi kita berbicara pack. Kalau semua ini bisa ada, sehingga tidak lagi terjadi konflik antara hulu dan hilir, karena selama ini masih terjadi perbedaan harga ini,” sambungnya.
Dia juga menegaskan, semua pihak tidak boleh tutup mata. Harus objektif dalam melihat kondisi larangan ekspor bahwa para pengusaha tidak bisa menjual bijih nikel keluar harus diolah lebih dahulu menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Untuk saat ini memang para penambang masih terbilang baik-baik saja dengan harga jual.
Namun, perkembangan saat ini, terkait market maupun pabrik nikel, kondisinya sedang bleeding. Untuk itu, kata Meidy, APNI sedang berupaya menyampaikan ke pemerintah maupun para ahli (expert) untuk membentuk patokan harga nikel dalam negeri atau INPI.
Dalam rangka ini, APNI mengundang LME, SMM, August yang telah berpengalaman dalam menentukan formulasi penetapan harga berbagai komoditas global.
“Kita mencoba mengajak mereka untuk bantu Indonesia, caranya bagaimana (membentuk formulasi INPI),” paparnya.
Selanjutnya, dia memproyeksikan nilai harga nikel di Indonesia saat ini masih didominasi oleh foreign direct investment (FDI). Namun, bila dilihat dari total investasi sekarang negara China yang paling besar.
Akan tetapi, lanjutnya, secara global, menurut data dari Kementerian Investasi/BKPM, nomor satu investasi di Indonesia adalah negara Singapura.
“Tapi memang pabrik-pabrik yang ada sekarang memang masih didominasi oleh negara China,” ujarnya.
Meidy menuturkan, Indonesia tidak menutup investasi dari negara tertentu. Semua negara diperlakukan sama. Namun, karena China lebih agresif, cepat, dan mudah dalam berinvestasi di Indonesia, sehingga China masih menjadi negara yang paling dominan.
“Kalau kita lihat memang, seperti yang saya sebutkan, sudah ada 53 pabrik pirometalurgi, kemudian sudah ada 4 pabrik hidrometalurgi yang membuat nikel matte atau nikel sulfat. Saat ini dari total 53 dan 4 pabrik HPAL itu memang 90% masih dikuasai China,” tuturnya.
Untuk para tenaga kerja, memang banyak didatangkan tenaga ahli dari China di pabrik smelter tersebut. Namun, di sini diharapkan adanya keadilan dalam penyerapan tenaga kerja lokal.
Dia melanjutkan, untuk harga nikel saat ini dinilai tidak terlalu rendah meskipun masih ada penurunan nilai harga tapi hal ini dianggap lebih baik dibandingkan harga nikel beberapa tahun lalu.
Tetapi untuk nilai harga nikel olahan memang perlu dorongan karena, menurutnya sangat tidak pasti. Untuk hari ini saja, nilai harga nikel dari China untuk NPI sebesar 1.100 RMI per ton, dan nilai harga ini tidak sebanding dengan cost production.
“Kira-kira tidak untung untuk saat ini. Untuk yang kita butuhkan saat ini sehingga bagaimana konflik antara harga material atau bijih nikel olahan ini tidak tejadi bleeding lagi sehingga pengusaha bisa untung,” pungkasnya. (Shiddiq/R)