Beranda Berita Nasional BBM Naik, Biaya Operasional Tambang Nikel Membengkak

BBM Naik, Biaya Operasional Tambang Nikel Membengkak

1043
0

NIKEL.CO.ID, 9 September 2022-Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, sejak diberlakukannya kenaikan harga BBM per 3 September 2022 berdampak semakin membengkaknya biaya operasional pertambangan nikel.

Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa perkembangan terkini industri pertambangan nikel nasional, untuk industri hilir (pabrik pengolahan nikel) yang berproduksi sekitar 31 pabrik olahan, dan yang sedang dalam proses konstruksi dan perencanaan/pengurusan perijinan sekitar 50 perusahaan. Ia memperkirakan total industrI olahan nikel di tahun 2025-2026 mencapai 81 pabrik olahan.

“Tahun ini kebutuhan bijih nikel sekitar 120 juta ton, dan di tahun 2025 akan mengkonsumsi bijih nikel sampai 250 juta ton,” kata Meidy Katrin Lengkey.

Menurutnya, program hilirisasi industri nikel telah berhasil dan membawa dampak positif bagi industri pertambangan, karena meningkatnya demand bijih nikel dalam negeri. Untuk tren pergerakan harga nikel di pasar internasional di mana Indonesia masih berpatokan kepada Pasar Bursa London Metal Exchange (LME), sejak Januari hingga September 2022 Harga Mineral Acuan (HMA) masih di kisaran US$ 25.000-an per wmt .

Sementara Harga Patokan Mineral (HMP) Nikel, dijabarkan Meidy Katrin Lengkey, untuk nikel kadar (Ni) 1,8%, Mousture Content (MC) 35% pada Januari 2022 sebesar US$ 44,88 per wmt, Februari US$ 46,94 per wmt, Maret US$ 52,32 per wmt, April US$ 80,02 per wmt, Mei US$ 74,28 per wmt, Juni US$ 66,80 per wmt, Juli US$ 60,94 per wmt, Agustus US$ 50,03 per wmt, dan September US$ 49,04 per wmt.

Namun, pelaku pertambangan nikel, kata Meidy Katrin Lengkey, harus memutar otak lagi seiring telah dinaikkannya harga BBM sejak 3 September 2022. Karena, dampak dari kenaikan BBM mengakibatkan semakin membengkaknya biaya produksi pertambangan nikel. Di sisi lain, tren HPM Nikel saat ini terus menurun.

Menurutnya, pengaruh terbesar produksi pertambangan nikel tergantung dari striping ratio, jarak hauling dan jarak pelabuhan port to port loading–unloading. Karena, untuk penjualan bijih nikel, walaupun sudah diatur dalam regulasi Permen ESDM, yaitu HPM berbasis FOB, tapi dalam pelaksanaan smelter hanya mau melakukan pembelian bijh nikel dengan kontrak HPM CIF. Sehingga penambang menanggung biaya pengiriman/tongkang, otomatis biaya tongkang tentu juga akan meningkat.

“Kenaikan BBM mempengaruhi IRR dan NPV yang akan menurun, karena biaya produksi dan operasional seluruh sektor otomatis meningkat,” ucapnya.

Secara spesifik dijelaskan, persentase penggunaan BBM dalam produksi bijih nikel sekitar 35-40% dari total cost produksi. Dengan kenaikan BBM, pasti akan menambah beban produksi antara 10%-15%. Kemudian, untuk biaya produksi per 1 ton bijih nikel yang sebelumnya sekitar US$ 18-20 per wmt, saat ini dengan kenaikan BBM otomatis akan terjadi kenaikan menjadi US$ 23-US$ 25 per wmt.

“Kenaikan ini tergantung dari striping ratio dan jarak hauling setiap tambang. Ditambah lagi dengan kontrak dari pabrik berbasis CIF, penambang menanggung biaya tongkang, yang sebelumnya biaya tongkang rata–rata US$ 6 per wmt, dengan kenaikan BBM otomatis biaya tongkang menjadi US$ 8 per wmt,” paparnya.

Harapan APNI

Seiring naiknya biaya produksi dan operasional pertambangan nikel, APNI disampaikan Meidy Katrin Lengkey meminta ketegasan pemerintah dalam sanksi yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 terkait transaksi bijih nikel harus berbasis FOB. Dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 2A ayat (1) disebutkan: Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam yang memproduksi bijih nikel, wajib mengacu pada HPM Logam dalam melakukan penjualan bijih nikel yang diproduksi. Di Pasal 2A ayat (3) dikatakan: Pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel yang berasal dari pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam wajib melakukan pembelian bijih nikel dengan mengacu pada HPM Logam.

Selanjutnya di Pasal 12 (1) berbunyi: Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Batubara, IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, atau IUPK Operasi Produksi Batubara, yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 2A, Pasal 9A, Pasal 10, atau Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi administratif dan di ayat (2), yaitu sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan/atau
c. pencabutan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

APNI juga meminta kepada pemerintah membatasi penggunaan kadar bijih nikel saprolit maksimal kadar 1,6% untuk menjaga ketahanan cadangan bijih nikel, menciptakan keadilan terhadap tata kelola dan tata niaga bijih nikel, serta memberikan edukasi dan training dalam pelaksanaan good mining practice, sehingga meningkatkan penerimaan negara dan penerapan dampak lingkungan. (Red)

Artikulli paraprakProf. Hikmahanto: Jika Kalah, Pemerintah Indonesia bisa Ajukan Banding ke Badan Banding WTO
Artikulli tjetërPandangan APNI tentang Gugatan UE dan Sustainability Nikel Indonesia