
NIKEL.CO.ID, 30 Agustus 2022-Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Indonesia (APNI) mendukung hilirisasi industri pengolahan nikel di Indonesia. Diharapkan industri hilir atau smelter mampu mengolah bijih nikel hingga produk jadi.
Presiden Jokowi mengatakan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 telah memberikan nilai tambah terhadap komoditas mineral logam tersebut. Karena itu, hilirisasi industri sumber daya alam (SDA) yang sedang dijalankan pemerintah harus terus dilanjutkan.
Program hilirisasi industri nikel, dicontohkan Presiden Jokowi, telah meningkatkan ekspor besi baja 18 kali lipat. Di 2014, pendapatan dari ekspor besi baja hanya sekitar Rp 16 triliun, namun di 2021 meningkat menjadi Rp 306 triliun, karena sudah diekspor dalam bentuk barang setengah jadi atau sudah jadi.
Presiden Jokowi berharap di akhir 2022 ekspor produk olahan nikel bisa mencapai Rp 440 triliun.
Sementara itu, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkay mengatakan pertumbuhan industri pengolahan bijih nikel lokal perlahan lahan mulai bertumbuh sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah. Namun, ketika itu keran larangan ekspor mineral mentah masih ditutup dan dibuka.
Ketika secara resmi larangan ekspor diberlakukan 2020, mulai berdatangan investor asing membangun smelter nikel. Hanya saja, kondisi yang terjadi saat ini lebih banyak smelter yang mengolah bijih nikel menjadi produk olahan setengah jadi dibandingkan barang jadi.
“Selama ini pabrik pirometalurgi dan hidrometalurgi baru memproduksi nikel kelas 2, yaitu produk nikel pig iron, feronikel, dan nikel matte. Jadi, belum memproduksi barang jadi,” kata Meidy Katrin Lengkey.
APNI berharap ada pabrik yang betul-betul mengolah bijih nikel menjadi produk jadi, seperti prekursor dan katoda untuk baterai listrik, ataupun ke stainless steel, bukan mengelolah nikel kelas 2. Hal ini menyangkut sumber cadangan bijih nikel di Indonesia. Kebanyakan pabrik mengolah bijih nikel kadar di atas 1,7 persen atau saprolit dibandingkan nikel kadar rendah atau limonit.
Berdasarkan data APNI, cadangan terukur bijih nikel sekitar 4,6 miliar ton, terdiri dari cadangan saprolit sekitar 3,7 miliar ton, sedangkan limonit 900 miliar ton. Jika industri hilir terus menerus mengolah saprolit menjadi produk kelas 2, dikhawatirkan ke depan akan kekurangan suplai bahan baku.
Menurut Meidy Katrin Lenkey, melihat kondisi pabrik pengolahan nikel saat ini diperkirakan dibutuhkan 3 hingga 4 langkah lagi untuk mengolah bijih nikel menjadi produk jadi.
Menyoal produk untuk baterai listrik, selain prekursor dan katoda, dibutuhkan juga produk olahan anoda dari lithium. Bahan baku lithium ini masih diimpor dari produsen luar negeri.
“Baterai listrik membutuhkan elemen anoda, sedangkan yang ada di sini baru bisa memproses prekursor dan katoda sebagai pengantar energi positif baterai listrik yang berasal dari nikel, mangan, dan kobalt. Jadi, masih dibutuhkan mineal lainnya, yaitu lithium sebagai penghantar energi negatif untuk komponen baterai listrik,” jelasnya.
Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, berdasarkan data APNI kebutuhan bijih nikel untuk industri pengolahan nikel hingga akhir 2022 sekitar 120 juta ton, dan 250 juta ton di 2025. Persoalan akan muncul jika pemerintah mengundang para investor untuk membangun industri hilir dan umumnya mengolah bijih nikel saprolit, dikhawatirkan cadangannya tidak memenuhi kebutuhan industri hilir tersebut.
APNI, disampaikan Meidy Katrin Lengkey, mengimbau pemerintah mengundang juga investor yang ingin membangun pabrik olahan hingga produk jadi. Jika terealisasi, maka akan menunjang dan mendongkrak pendapatan dari ekspor produk olahan nikel Indonesia yang diharapkan pemerintah mencapai Rp 440 triliun hingga akhir 2022. (Chiva/Syarif)