Beranda Berita Nasional Grand Strategy Nikel-Kobalt di Indonesia

Grand Strategy Nikel-Kobalt di Indonesia

2818
0
Ilustrasi: Kegiatan di pertambangan nikel
Ilustrasi: Kegiatan di pertambangan nikel

NIKEL.CO.ID, 18 Mei 2022- Dalam naskah berjudul: ‘Grand Strategi Mineral dan Batubara’ yang disusun Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, disampaikan tentang pengembangan industri dalam negeri berbasis nikel-kobalt, sebagai komoditas mineral logam. Berikut penjabarannya.

Dipaparkan, nikel-kobalt di Indonesia pada tahun 2020 tercatat memiliki total sumber daya dan cadangan logam nikel sebesar 143 juta ton dan 49 juta ton. Sementara total sumber daya dan cadangan logam kobalt sebesar 3,6 juta ton dan 0,4 juta ton.

Berdasarkan data Ditjen Minerba, terdapat total 339 izin minerba aktif dengan total wilayah sekitar 836 ribu hektare yang tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku, Kalimantan Selatan, Papua Barat, dan Papua. Produksi bijih nikel Indonesia mencapai 0,76 juta ton-Ni dengan serapan sekitar 0,70 juta ton-Ni.

Sebelum 2019, neraca perdagangan produk berbasis nikel memberikan nilai yang positif yang sebagian besar berasal dari kontribusi ekspor bijih, NPI/FeNi, nikel matte, dan baja tahan karat HRC. Sementara pada 2020, kontribusinya ditambah oleh baja tahan karat CRC.

Menurut data Juni 2021, pabrik pengolahan dan pemurnian nikel yang telah beroperasi didominasi oleh teknologi pirometalurgi sebanyak 27 pabrik, sementara pengguna teknologi hidrometalurgi yang telah beroperasi hanya ada 2 pabrik. Industri hilir nikel yang telah terbangun adalah industri baja tahan karat dengan realisasi produksi sebesar 2,62 juta ton seri-300 dan sebesar 60 ribu ton baja seri-200.

Peningkatan kegiatan eksplorasi bijih nikel diperlukan terutama untuk bijih saprolit, karena umur cadangannya berkisar antara 10 tahun (kadar >1,7%Ni) hingga 15 tahun (kadar>1,5%Ni), pada laju konsumsi bijih basah sebesar 210 juta ton per tahun. Eksplorasi mineral lain terkait industri nikel juga diperlukan, sebagai contoh eksplorasi mineral besi, kromit, mangan, litium, dan kobalt untuk menunjang industri baja tahan karat dan baterai litium.

Peningkatan umur cadangan bijih saprolit harus dilakukan melalui peningkatan kegiatan konversi sumber daya menjadi cadangan. Kualitas dan kuantitas data perlu ditingkatkan melalui kegiatan verifikasi oleh pihak yang berkompeten dan pemutakhiran data oleh tiap IUP.

Kegiatan inventarisasi bijih limonit bekas penambangan bijih saprolit perlu didorong untuk meningkatkan ketahanan cadangan, menunjang pengembangan industri nikel kelas 1, dan mengupayakan konservasi. Metode penambangan tuntas atau pada bijih limonit dan saprolit perlu mulai total mining diterapkan, sebagai upaya penyediaan simultan bahan baku industri nikel kelas 1 dan nikel kelas 2.

Terdapat 2 pabrik hidrometalurgi dengan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) yang telah beroperasi hingga tahun 2021, dan 9 pabrik lainnya yang direncanakan akan dibangun dengan target menghasilkan produk nikel kelas 1. Masih terdapat potensi untuk meningkatkan produksi tersebut untuk pemenuhan 30% kebutuhan global melalui penambahan jumlah pabrik HPAL dengan kapasitas total diperkirakan sebesar 147 ribu ton nikel per tahun.

Produk pabrik HPAL yang berupa MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) dapat dikonversi lebih lanjut menjadi produk nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Konversi tersebut akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dalam skala global.

Pembangunan pabrik nikel kelas 2 berjenis pirometalurgi yang baru, perlu dibatasi karena umur cadangan bijih saprolit yang semakin terbatas. Selain itu, juga untuk untuk mengantisipasi langkah pengusaha yang hanya mengekspor FeNi/NPI tanpa mengolahnya lebih lanjut menjadi baja tahan karat.

Permasalahan umur cadangan bijih saprolit dapat diatasi, salah satunya dengan mulai melihat kemungkinan pabrik pirometalurgi dalam memanfaatkan bijih saprolit dengan rasio SiO /MgO tinggi. Nilai tambah produk nikel kelas 2 dapat ditingkatkan dengan mengkonversinya menjadi nikel kelas 1. Sebagai contoh produk FeNi yang dihasilkan oleh pabrik pirometalurgi RKEF (Rotary Kiln-Electric Furnace) dapat dikonversi menjadi nikel sulfat melalui penambahan nickel matte lalu menjadi nikel sulfat melalui penambahan instalasi matte converter, autoclave, dan solvent extraction.

Kemudian, pemanfaatan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) industri pengolahan dan pemurnian pabrik hidrometalurgi dan pirometalurgi, perlu diupayakan untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan.

Penguasaan teknologi dalam industri nikel harus diupayakan secara bertahap, salah satu contohnya dengan membentuk atau meningkatkan peranan perusahaan domestik yang menangani jasa teknik, pengadaan barang, dan konstruksi atau EPC (engineering-procurement-construction) di bidang pembangunan fasilitas pengolaan dan pemurnian bijih nikel.

Produk nikel kelas 2 domestik (NPI dan FeNi) sebagian besar masih diekspor ke luar negeri mencapai 2,8 juta ton atau setara dengan US$ 4,7 miliar. Sampai 2021 telah terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi baja tahan karat seri-300 dengan kapasitas total di atas 3 juta ton. Serapan produk nikel kelas 2 dalam negeri ini, diusulkan untuk ditingkatkan lebih lanjut melalui pembangunan pabrik baja tahan karat seri- 200 dengan kapasitas total sekitar 1,5 juta ton. Produk baja tahan karat seri-200 dan seri-300 yang diproduksi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan surplusnya dapat diekspor ke negara mitra.

Sementara untuk serapan produk nikel kelas 1 dalam negeri, terdapat peluang untuk pembangunan industri katoda dan sel baterai yang berdasarkan kebutuhan Indonesia akan mencapai kapasitas 70 GWh pada tahun 2045. Target implementasi teknologi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) domestik pada tahun 2045 akan mencapai 74,8 GW dengan kapasitas terpasang, dan akan memerlukan logam nikel dengan kebutuhan kumulatif diperkirakan mencapai 584 ribu ton nikel. Terdapat juga potensi bagi Indonesia dalam pengembangan industri sebesar super alloy 107.730 ton per tahun atau sekitar 22% dari kebutuhan global.

Dari pengembangan industri berbasis komoditas nikel-kobalt, potensi pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak diperkirakan mencapai US$ 7 miliar pada 2045. Estimasi ini belum mempertimbangkan kemungkinan fluktuasi harga produk, pengembalian modal, dan fasilitas fiskal yang diterima oleh tiap perusahaan. (Syarif/Chiva)