NIKEL.CO.ID, 18 APRIL 2022—Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), 400 tahun lalu, kita mengirim bahan-bahan mentah ke luar negeri. Menurut Presiden, mengekspor bahan-bahan mentah harus dihentikan.
Ya, kita memang mendapatkan uang dari penjualan bahan mentah, baik nikel, tembaga, bahan pertanian, komoditas pertanian, maupun komoditas perkebunan. Kita tidak mendapatkan apa-apa. Kita harus mendapatkan nilai tambah (added value).
“Sebab itu, pada 2020 saya sudah sampaikan stop nikel. Ga boleh ekspor lagi nikel, nickel ore. Bahan mentah nikel tidak, stop. Kiriman minimal setengah jadi. Nanti berikutnya harus setengah barang jadi sehingga nilai tambah itu ada di sini. Terbuka lapangan pekerjaan yang gede di Indonesia, pajak yang bayar di Indonesia,” kata Jokowi.
Mengenai hal tersebut, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, industri nikel saat ini memang sedang seksi-seksinya. Ditambah lagi bulan lalu industri nikel bak mendapat meteor jatuh. Harga komoditas nikel di London Metal Exchange (LME), bursa logam global, naik gila-gilaan melampaui 100 ribu dolar AS/ton.
“Sampai hari ini industri nikel lagi seksi banget. Kebetulan juga bulan lalu baru mendapatkan meteor jatuh dengan perkembangan harga komoditas nikel di LME sekitar Maret kemarin. Sampai lima hari tembus rekor sampai di atas 100 ribu dollar/ton,” ungkap Meidy pada Market Review IDX Channel, Senin (18/4/2022).
Kondisi tersebut, tambahnya, tentu saja memberi dampak negatif sekaligus positif buat Indonesia. Dampak positifnya, meski harganya lebih dari 100 ribu dolar AS/ton pada awal bulan ini APNI tetap menggunakan peraturan pemerintah mengenai harga bijih nikel.
Namun, di pihak smelter tentu mengalami guncangan yang luar biasa dengan meroketnya harga nikel. Smelter-smelter yang sudah beroperasi mengolah bahan baku bijih nikel dari kami tentu menghendaki harga internasional sebelumnya, yang kurang lebih di bawah 30 ribu dollar, sedangkan harga saat ini di atas 30 ribu dollar AS/ton.
“Indonesia harus menyiasati bagaimana problem smelter yang merasakan kondisi harga internasional yang terlalu tinggi. Tapi, buat kami, ada aturan ya tentu harus mengikuti aturan untuk bahan baku bijih nikel,” tuturnya.
Menurut pandangan Meidy, jumlah smelter nikel di Indonesia saat ini paling banyak di antara smelter mineral lainnya. Saat ini sudah berdiri 27 badan usaha. Berarti, ada 27 pabrik yang mengolah bijih nikel, yang terbagi atas pirometalurgi dan hidrometalurgi. Pirometalurgi output-nya nickel pig iron (NPI) atau ferronikel.
Saat ini juga sudah berdiri dua pabrik pengolahan bijih nikel kadar rendah dengan teknologi high pressure acid leach (HPAL) yang mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat. Kalau kita berbicara hidrometalurgi, maka kita menuju baterai katoda. Jadi, sebentar lagi Indonesia mempunyai produk yang namanya baterai katoda. Saat ini sudah ada satu di Morowali dan satu lagi di Maluku Utara. Akhir tahun ini juga akan ada bertambah lagi pabrik yang akan mengelola baterai katoda.
“Tentu kami para penambang surprise luar biasa. Selama ini kami teriak-teriak bagaimana optimalisasi bijih nikel kadar rendah. Dengan berdirinya pabrik pengolahan HPAL atau hidrometalurgi artinya sudah mulai teroptimalisasi bijih nikel kadar rendah. Kami support pemerintah agar pengolahan nikel ini betul-betul berdaya guna dan bermanfaat untuk rakyat indonesia,” tuturnya.
Mengenai keadaan geopolitik yang sekarang terjadi, wanita yang digelari Best Inspiring Woman oleh Pusat Rekor Indonesia ini tak menampik perang Rusia dan Ukraina berdampak pula bagi dunia pertambangan nikel di Tanah Air.
“Tentunya membawa dampak bagi negara-negara lain. Rusia saat ini menyetop ekspor produk-produk mineralnya. Akhirnya, yang mendapatkan jackpot adalah Indonesia, kemudian Filipina, dan beberapa negara lainnya. Tentu saja, kalau dampak positifnya overdemand mungkin ya. Kalau saat ini ya jadi Indonesia mendapatkan durian runtuh,” ujarnya.
Akan tetapi, kembali ia menekankan, produk olahan nikel harus betul-betul punya manfaat untuk Indonesia. Dan, kalau berbicara produk olahan maka yang masih mendominasi adalah NPI dan feronikel karena bijih nikel sudah tidak boleh diekspor.
“Tapi yang kita lihat adalah seberapa besar sih pendapatan negara, khususnya produk olahan dari 27 badan usaha ini. Ingat nanti akan berdiri 81 badan usaha dan ini masih bertambah. Kami kemarin sempat berdiskusi juga dengan Kementerian ESDM, yang antara lain membahas kemungkinan menyetop pembangunan-pembangunan hilirisasi khusus nikel. Karena, kami takut bijih nikel kita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pabrik ini,” ungkapnya.
Karena, menurut penghitungan APNI, pada 2025 nanti, jika pabrik-pabrik ini sudah berdiri dan beroperasi, tentu akan memakan bijih nikel kurang lebih 250 juta/ton per tahun. Pihaknya mengkhawatirkan cadangan ini tidak cukup. Nah, tentu kita harus melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi detail lagi.
Awas Overdemand
Jangan sampai overdemand terjadi, kasihan smelter. Apalagi ada isu terbaru yang menyatakan pada awal Januari kemarin presiden mengumumkan penertiban IUP. Salah satunya artinya 2.078 IUP badan usaha akan dicabut yang diberi wewenang oleh Keppres No. 1 Tahun 2022 kepada Kementerian Investasi/BKPM untuk menertibkan atau mencabut IUP yang tidak melakukan kegiatan. Jadi, IUP aktif tapi tidak beraktivitas.
“Sudah mulai ada pergolakan dan perguncangan yang luar biasa. Kalau menurut UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP No. 96 Tahun 2021, penertiban pencabutan IUP ada mekanismenya, ada peringatan, baru kemudian diberikan sanksi. Ini kok tiba-tiba kami dapat email. Beberapa anggota kami itu ga ngapain-ngapain kok tiba-tiba dapat email SK pencabutan. Tentu shock banget. Ini benar-benar di luar dugaaan,” katanya memaparkan.
Ia menceritakan, ada perusahan yang sedang melakukan kegiatan produksi, masih menunggu persetujuan RKB, tiba-tiba dapat SK pencabutan. Kemudian, ada juga yang sedang membangun industri hilirisasi yang rencananya tahun ini akan berproduksi, sudah progres 80%, tiba-tiba IUP-nya dapat SK pencabutan.
Tentu, katanya loagi, ini menjadi pergolakan kepastian hukum. Bagaimana mau menambah investasi di Indonesia? Karena kan tentu kalau kita berbicara investasi, pelaku usaha juga sudah berinvestasi. Bagaimana kajiannya?
“Kalau menurut data kami, khusus nikel sendiri itu sudah 60 lebih badan usaha yang diicabut dari total data sebelum pencabutan itu ada 330-an badan usaha IUP pertambangan bijih nikel. Nah, kalau ini dicabut, habis nanti lama-lama dan akhirnya smelter nanti bahan bakunya dari mana kalau IUP dicabut,” ucapnya.
Peraturan Membingungkan
Meidy menyebutkan, pada saat anggotanya sudah mendapatkan SK pencabutan—karena SK pencabutan mulai dari 7 Februari kemarin—pada saat yang sama anggotanya sudah mendapat SK pencabutan. Bahkan, salah satu anggota APNI pada 14 Maret dapat lagi peringatan dari Kementerian ESDM.
“Jadi, bagi Ditjen Minerba Kementerian ESDM, kami masih aktif, tapi bagi Kementerian Investasi kami sudah mati. Nah, inilah yang menjadi kebingungan kami. Kami mau mengadu ke mana dan berlindung ke mana dan dicabut atau masih dapat peringatan?” tanyanya.
Untuk itu, ada beberapa anggota APNI yang sudah mendapatkan SK pencabutan mengajukan keberatan. Tentu kan pihaknya bermediasi dulu dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Investasi, untuk kita ajukan keberatan.
Dalam mengajukan keberatan, katanya merinci, pemilik yang IUP-nya dicabut harus melampirkan seluruh kronologis mendapatkan IUP. Kemudian, ia memenuhi kewajiban-kewajiban dan melaksanakan seluruh kewajiban dan kegiatan yang sudah dilakukan.
“Juga berikut penjelasan kendala apa sebenarnya yang dihadapi sampai IUP itu belum berproduksi. Karena, kita tahu bersama bahwa untuk melakukan kegiatan produksi bukan semata-mata kita dapat IUP tapi ada kendala,” katanya.
Pertama, ia melanjutkan, misalnya kita harus mengajukan izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Banyak area yang sudah tidak ada kuotanya di PPKH. Kalau bersinggungan sedikit saja dengan perusahaan-perusahaan besar yang mengajukan kuota PPKH, tetapi ternyata tidak melakukan kegiatan produksi, akhirnya tidak memberikan kesempatan kepada yang lain.
Kedua, sambungnya, ada juga yang melakukan kegiatan eksplorasi dan pembangunan infrastruktur. Artinya, dalam pencabutan ini pemerintah harus mengkaji secara detail, melihat langsung kondisi, memanggil langsung para pelaku usaha, menanyakan langsung kendala-kendalanya dan memberikan kajian sehingga layak atau tidak layak diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan produksi
Antara Pusat dan Daerah
Guna mencari solusi dari masalah pencabutan IUP tersebut, bulan lalu APNI sudah melayangkan pengaduan ke Komisi VII DPR RI. Kemudian sudah ditindaklanjuti dengan rapat dengar pendapat (RDP).
“Kita akan lihat ke depannya seperti apa. Ini kan masih berlanjut kan. ya base pertama, base kedua sampai 2.000-an IUP yang akan dicabut. Kalau kita berbicara rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) kan tentu ada kelengkapan-kelengkapan dokumen. Anggaplah ada 10 kelengkapan dokumen yang harus kita lengkapi,” tuturnya.
Menurut Sekum APNI itu, sebenarnya ada plus minusnya kewenangan ditarik ke pusat. Kalau dulu kita di provinsi harus ada presentasi. Pengaju IUP harus meeting berulang-ulang dengan ESDM provinsi.
Kalau di pusat, tinggal email kelengkapan-kelengkapan persyaratan dan evaluasi. Sebenarnya, lebih mudah, tapi persyaratannya agak diperketat. Perusahaan-perusahaan yang mengajukan RKAB seringkali salah membuat dokumen.
Contoh, katanya lagi, jika mau mengajukan RKAB 1 juta/ton tahun ini, tapi di dokumen studi kelayakan (feasibilty study/FS) dan dokumen amdal tidak kompak. Jadi, tidak match, sehingga harus dievaluasi ulang.
“Kita lihat berapa banyak sumber daya manusia (SDM) dalam Kementerian ESDM dalam rangka mengevaluasi seluruh IUP se-Indonesia. Coba bayangkan, kalau ada lima ribuan IUP. semuanya menyeruduk ke Kementerian ESDM dan Ditjen Minerba, kapasitas SDM tentu kurang. Dan, kedua, pada saat kita mencoba masuk dan kita online. Kita email dokumen-dokumennya kebanyakan mental atau tertolak otomatis, mungkin server-nya penuh,” paparnya.
Ia menerangkan, kalau berbicara demand dari pihak industri olahan, misalnya menurut perhitungan APNI tahun lalu dibutuhkan sekitar 70-an juta/ton bijih nikel untuk industri olahan, sedangkan tahun ini diperkirakan 100 juta/ton. Ditambah lagi industri olahan hidrometalurgi yang sudah bertambah dan mulai berproduksi, jadi kurang lebih sekitar 110 sampai 120 juta/ton.
“Kalau persetujuan RKAB yang baru disetujui baru sekitar 50-60 juta/ton. Kasihan industri olahan nikel jadinya. Kan hanya tersuplai sekitar 50%. Itu akan berdampak negatif nantinya. Kalau melihat progres pembangunan. Kalau kita mengajukan agen pembangunan kan ada progresnya tahun pertama, kedua, ketiga, keempat, sampai kelima. Itu namanya progres pembangunan,” ujarnya.
Meidy mendeskripsikan, tentu pemerintah sudah berhitung jika pada tahun sebelumnya, 2021, ada sekitar 21 badan usaha yang sudah melakukan kegiatan pengolahan, pada 2022 bertambah menjadi sekitar 27 sampai 30 badan usaha, maka kapasitas produksi bertambah. Pertambahannya bukan di pabrik itu masing-masing, tetapi penambahan industri olahan yang bertambah. Tentu output produk NPI, feronikel, nikel matte, bahkan nikel sulfat juga akan bertambah tahun ini. (Rusdi/Syifa)