
NIKEL.CO.ID., 6 MARET 2022—Sulawesi Tengah adalah wilayah yang diberkati Tuhan YME dengan berbagai bahan tambang, khususnya nikel. Di sana pun banyak smelter yang beroperasi untuk mengolah nikel mentah menjadi produk berikutnya.
Mantan Kepala Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah, Dr. Ir. Bunga Elim Somba, M.Sc., mengatakan smelter-smelter ini sudah di-setting untuk mengolah nikel kadar di atas 1,4%, sehingga ini menjadi kendala bagi para penambang karena realitas di lapangan nikel yang dihasilkan tidak semuanya berkadar tinggi.
Ia menambahkan, lapisannya berbeda-beda. Ada yang nikel kadar tingginya di bawah, ada yang di atas. Dan, saat ini banyak nikel yang kadarnya rendah.
“Persoalannya, kalau kadar tingginya ada di bawah dan kadar rendahnya yang di atas, itu biaya operasionalnya lebih besar. Dan, mau dikemanakan kadar rendah ini? Ke depannya, nantinya nikel kadar rendah ini bisa digunakan dengan hadirnya pabrik baterai untuk kendaraan listrik,” ujarnya saat menghadiri acara Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (DPP APNI), di Hotel Novotel Jakarta, Minggu (6/3/2022).
Namun, sampai sekarang ini, katanya melanjutkan, nikel berkadar tinggi yang diminati karena smelter di Sulteng yang jumlahnya sudah hampir 20 smelter ini umumnya input-nya nikel kadar tinggi. Sementara ini, nikel kadar rendah masih disimpan karena proses produksi untuk baterai belum berjalan.
Menurut Koordinator Wilayah Sulawesi Tengah DPP APNI ini, memang ada upaya-upaya untuk mencampur nikel berkadar rendah, 1 hingga 1,2%, dengan kadar tinggi atau 2%, tetapi hal ini menambah biaya produksi. Jadi, untuk sementara ini masih menunggu nikel kadar rendah ini akan diminati oleh pabrik baterai untuk mobil lstrik. Prosesnya sebentar lagi. Kita tinggal tunggu pabrik pengolahan nikel kadar rendahnya jadi, di Morowali sudah dibangun.
Kendala di Lapangan
Persoalan yang dihadapi oleh para penambang saat ini, Elim menjelaskan, adalah masalah surveyor. Ada selisih antara penentuan hasil kadar nikel di pertambang dan smelter.
“Biasanya di site kita sekian sampai di pabrik turun. Kena penalti lagi. Kita sedang coba cari solusinya. Harus ada surveyor yang independen. Sekarang ini penambang pakai surveyor sendiri, pabrik pakai surveyor sendiri,” ujarnya.
Ia menerangkan, sekarang ini pemerintah ikut campur tangan untuk mencari solusi masalah ini. Harus ada standar surveyor. Jadi, nantinya surveyor satu saja.
“Jadi tidak lagi dari surveyor penambang sekian, dari surveyor smelter beda lagi. Karena, margin harganya cukup signifikan,” katanya menegaskan.
Perkembangan belakang ini, harga nikel terus naik seiring dengan perkembang geopolitik di dunia. Kenaikan harga nikel globa yang sampai saat ini mencapai 30.000 dolar AS saat ini belum dirasakan dalam waktu dekat ini. Elim mengatakan, untuk saat ini dampaknya belum dirasakan penambang.
“Saat ini belum ada dampaknya. Mungkin nanti untuk jangka panjangnya ada dampaknya. Kita baru tahu dampaknya kenaikan setelah 6 bulan misalnya,” ungkapnya.
Persoalan lain yang belakangan ini menarik perhatian adalah pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pencabutan tersebut ada yang pro dan kontra. Masih dilihat mana yang benar, dan mana yang salah. Ada yang benar memang harus dicabut karena memang tidak ada aktivitasnya, tetapi ada yang juga yang tidak.
“Di Sulteng ada 43 IUP yang dicabut. Ya akan kita kita lihat hak-haknya dan pembelaanya. Kita coba menjembatani,” ujarnya menutup perbincangan. (Rusdi,Fia)