NIKEL.CO.ID – Pada 2030 mendatang sebanyak 20% dari total konsumsi nikel global diperkirakan akan digunakan untuk baterai mobil listrik maupun baterai sistem penyimpanan energi (Energy Storage System/ ESS) . Persentasenya bahkan masih akan terus berkembang sampai dengan 2040 mendatang menjadi sebesar 37%.
Adapun pada 2030 konsumsi nikel untuk baterai kendaraan listrik maupun ESS ini diperkirakan mencapai 800 ribu ton dari 2020 masih di bawah 200 ribu ton.
Hal tersebut berdasarkan laporan Wood Mackenzie, lembaga analisis energi global, yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam diskusi ‘Battery Electric Vehicles Outlook’, Kamis (06/05/2021).
Meidy mengatakan, berdasarkan laporan Wood Mackenzie ini, konsumsi nikel di China pada 2020 tercatat mencapai sebesar 106 ribu ton, relatif stagnan dibandingkan tahun sebelumnya dikarenakan adanya perubahan subsidi dan pandemi Covid-19.
“Tapi ini akan menjadi lebih dari dua kali lipat pada 2025,” paparnya mengutip laporan tersebut.
Dia mengatakan, ekspansi terbesar setelah tahun 2025 diperkirakan akan terjadi di China dan sisanya Asia, meski belum diketahui spesifik negaranya.
“Peran Eropa sebagai pembuat bahan aktif prekursor dan katoda akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan,” paparnya mengutip laporan tersebut.
Transisi penggunaan kendaraan dari berbasis bahan bakar minyak (BBM) ke listrik akan meningkatkan permintaan pada bahan baku baterai seperti nikel sulfat.
“Dominasi Asia dan khususnya China di segmen ini akan terus berlanjut,” ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto memperkirakan dalam waktu dekat akan terjadi tren super siklus komoditas tambang.
Beberapa jenis komoditas tambang diperkirakan bakal menjadi primadona di masa depan, terutama seiring dengan tren dunia berganti menuju energi bersih dari energi fosil.
Khusus di sektor transportasi, masyarakat ke depan diperkirakan bakal beralih dari mobil berbasis bahan bakar fosil ke mobil listrik. Mobil listrik membutuhkan baterai di mana bahan bakunya merupakan produk tambang.
Dia menjelaskan super siklus komoditas tambang ini adalah suatu periode yang cukup panjang dimana permintaan pada satu komoditas atas beberapa komoditas lainnya jauh lebih tinggi dari rata-rata permintaan tahunan secara historis. Dengan demikian, suplai tidak bisa memenuhi semua permintaan.
“Akibatnya, harga komoditas tersebut akan naik signifikan,” ujarnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu (03/03/2021).
Sumber: CNBC Indonesia