NIKEL.CO.ID, 27 Januari 2023-Pemerintah menargetkan bisa memproduksi baterai kendaraan listrik tahun 2024. Karena Indonesia memiliki nikel untuk bahan baku baterai. Hanya saja, kondisi yang terjadi saat ini industri hilir baru sukses mengolah bahan setengah jadi. Pun industri hilir dominan mengolah saprolit dibandingkan limonit untuk bahan baku baterai.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, hilirisasi industri pertambangan terus bertumbuh di Indonesia.Jika industri hilir terus berkembang, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,8 persen dalam 5 tahun ke depan.
“Untuk nikel, lanjutnya, sekarang tidak hanya diolah untuk stainless steel, namun akan dikembangkan juga untuk katoda dan prekursor baterai listrik,” kata Luhut dalam sebuah acara di Nusa Dua Beach Hotel, Bali.
Ia mengutarakan, pembangunan industri hilir nikel, baterai, dan kendaraan listrik di Indonesia memang membutuhkan biaya yang besar. Karena itu, Pemerintah Indonesia juga menggandeng kerja sama dengan investor asing untuk pengembangan industri hilir nikel.
Luhut memperkirakan dari nilai investasi untuk hilirisasi industri sudah berjalan semua, sekitar 8 tahun ke depan industri baterai akan memasok 3 juta mobil listrik.
“Pemerintah menargetkan baterai listrik akan diproduksi tahun 2024, dengan tipe NMC 811 (Nikel 80 persen, Mangan 10 persen, dan Cobalt 10 persen),” katanya optimistis.
Pernyataan Luhut disambut Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. Seusai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Menteri Bahlil mengatakan, pemerintah menargetkan bisa memproduksi baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia mulai tahun 2024. Produksi baterai kendaraan listrik bakal mulai berjalan pada semester I tahun 2024 yang dibangun oleh LG di Karawang, Bekasi.
“Konstruksi ekosistem kendaraan listrik dari hulu sampai ke hilir antara LG Electronics dan Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) akan dimulai pada tahun ini,” kata Bahlil.
Ia menyampaikan, pemerintah sudah membuat beberapa formulasi pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik. Di antaranya formula pemanis (sweetener) untuk membangun industri kendaraan listrik yang kompetitif.
“Ke depan yang kita bangun itu adalah ekosistem pembangunan EV dan motor itu ranah penciptaan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Cadangan Nikel Kritis?
CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus dalam keterangannya di sebuah stasiun televisi nasional, Kamis (26/1/2023), mengutarakan, jumlah cadangan bijih nikel yang ada saat ini tidak bisa dikatakan melimpah. Berdasarkan data Badan Geologi di Bandung menyebutkan, bijih nikel terkira jumlahnya 3,5 miliar ton. Komposisinya sudah termasuk cadangan terkira saprolit dan limonit. Sedangkan cadangan terbukti antara 1,2 sampai 1,5 juta metric ton.
“Cadangan terbukti artinya bijih nikel ini sudah bisa ditambang,” jelasnya.
Di sisi lain, ungkapnya, smelter di Indonesia bertumbuh sangat cepat. Saat ini total permintaan nikel untuk menginput kebutuhan smelter mencapai 120 juta metric ton. Jika dibagi antara cadangan bijih nikel terbukti dengan kebutuhan smelter sebanyak 120 juta metric ton, cadangan bijih nikel tinggal 9 juta metric ton. Jumlah ini belum termasuk kegiatan penambangan bijih nikel selama tiga tahun ke belakang.

“Intinya, pemerintah, smelter dan penambang harus berpikir untuk menjaga keberlangsungan smelter serta menjaga ketersediaan bijih nikel yang bisa ditambang,” katanya.
Menurutnya, jika smelter terus dibangun di Indonesia, smelter harus berebutan untuk mendapatkan input bahan baku nikel. Sementara kondisi yang ada saat ini, jumlah bahan baku nikel terbatas, hal ini mengakibatkan harga bijih nikel menjadi tinggi.
Hanya Alexander menekankan, kebijakan untuk moratorium pembangunan smelter jangan diputuskan pemerintah mendadak, sehingga persiapan rekan-rekannya yang ingin membangun smelter tidak cukup, terutama bagi teman-teman yang sudah membangun smelter.
“Namun, untuk izin baru untuk membangun smelter, memang harus perlu dipertimbangkan dengan serius oleh pemerintah,” kata Alexander yang juga Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI).
Sementara itu, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, berpandangan sudah saatnya pembangunan pabrik pirometalurgi yang mengolah saprolit dibatasi. Investasi harus diarahkan untuk pembangunan pabrik hidrometalurgi yang mengolah limonit.
Meidy Katrin Lengkey, mengutarakan, dibandingkan tahun 2017 dengan tahun 2022, jumlah industri pemurnian dan pengolahan (smelter) bijih nikel sudah banyak, bahkan bisa dibilang sudah over. Dikhawatirkan cadangan bijih nikel tidak cukup untuk mengkover kebutuhan pabrik pengolahan atau smelter.
Ia menyebutkan, hingga Januari 2023 sudah berdiri 43 pabrik pengolahan bijih nikel. Di 2022 saja demand pabrik 135 juta ton bijih nikel, dan baru tersuplai 101 juta ton bijih nikel. Di 2023 sudah ada permintaan 145 juta ton bijih nikel oleh pabrik.
“Ke depan, jika lebih berdiri lebih dari 100 pabrik pengolahan bijih nikel, apakah cadangannya cukup?” tanya Meidy Katrin Lengkey dalam keterangannya di salah satu televisi nasional, Kamis (26/1/2023).
Ia khawatir suplai bijih nikel dari penambang tidak sustainable ke pabrik. Karena, nikel bukan komoditas renewable, sehingga menjadi mineral kritis yang harus tetap dijaga pengelolaannya.
Karena itu, pemerintah, menurut Meidy Katrin Lengkey, perlu mempertimbangkan moratorium pembangunan pabrik. Dasarnya, di Indonesia dominan lebih banyak berdiri pabrik pirometalurgi yang mengolah saprolit. Dari 43 pabrik yang sudah berdiri, sebanyak 36 pabrik merupakan pirometalurgi yang menghasilkan NPI dan feronikel untuk bahan baku stainless steel. Sedangkan empat pabrik lagi merupakan hidrometalurgi yang mengolah limonit menjadi MHP dan nikel sulfat.
Permasalahannya, cadangan saprolit jumlahnya terbatas, sekitar 30% dari total cadangan. Sementara kebutuhan saprolit untuk pabrik pirometalurgi sebanyak 70%. Sebaliknya, cadangan limonit sekitar 70%. Dari empat pabrik hidrometalurgi, hingga tahun ini baru mengkonsumsi 36 juta ton limonit.
Menurutnya, pembangunan pabrik hidrometalurgi sejalan dengan program pemerintah yang ingin Indonesia menjadi produsen baterai kendaraan listrik di dunia sekaligus mendukung target zero emission di 2060. Sementara bahan baku baterai kendaraan listrik sebagian besar materialnya dari limonit yang diolah menjadi MHP, nikel sulfat, hingga menjadi prekursor.
“Karena itu, hayo stop pembangunan pabrik pirometalurgi. Karena cadangan saprolitnya sudah tidak mumpuni. Sekarang sudah waktunya Indonesia tak hanya mengolah limonit menjadi MHP, nikel sulfat, dan prekursor, tapi harus sudah bisa membuat baterai EV made in Indonesia, ” katanya. (Syarif).