Beranda Berita Nasional Ombudsman RI Minta Kaji Ulang Kepmen Tata Cara Proses Penerbitan dan Pendaftaran...

Ombudsman RI Minta Kaji Ulang Kepmen Tata Cara Proses Penerbitan dan Pendaftaran IUP

386
0
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto (kanan), menyampaikan hasil Kajian Sistemik Tata Kelola dan Kebijakan Izin Usaha Pertambangan.

NIKEL.CO.ID, 12 Desember 2022- Ombudsman Republik Indonesia menggelar konferensi pers tentang Kajian Sistemik Tata Kelola dan Kebijakan Izin Usaha Pertambangan hari Senin ini (12/12/2022). Hasil sementara kajian menyimpulkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 15.K/HK/02/MEM.B/2022 tentang Tata Cara Proses Penerbitan dan Pendaftaran Izin Usaha Pertambangan perlu dikaji ulang. Apa pasal?

Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menyampaikan, latar belakang dilakukan kajian ini. Pertama, terkait perubahan regulasi. Regulasi perizinan pertambangan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Hukum pertambangan yang berlaku di masa orde baru adalah Undang-Undang Nomor  11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Setelah diterbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada 12 Januari 2009 diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Saat ini izin pertambangan dilaksanakan melalui OSS RBA sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021,” kata Hery Susanto.

Kajian tersebut menemukan beberapa problematika izin usaha pertambangan, yaitu terjadi penundaan berlarut dalam proses peningkatan dan perpanjangan izin usaha pertambangan. Ketidaktelitian dalam proses penyerahan personel, prasarana, pembiayaan, dan dokumen (P3D) IUP sejak dari kabupaten kepada provinsi dalam pengalihan wewenang sebagaimana amanat UU Pemerintahan Daerah. Tumpang tindih dengan lahan perizinan perusahaan lain yang dikeluarkan oleh Pemda yang berbatasan. Permasalahan lain, instansi tidak menyampaikan informasi mengenai kurangnya persyaratan yang disampaikan pelapor.

Berdasarkan data pada Sistem Informasi Pelaporan (SimPel), jumlah laporan masyarakat terkait sektor pertambangan yang dilaporkan kepada Ombudsman, baik  pusat dan daerah, cukup dinamis. Diketahui pada 2020, Ombudsman menerima 67 laporan, di 2021 ada 107 laporan, dan di 2022 sebanyak 70 laporan.

Hery Susanto menjelaskan signifikansi kajian yang dilakukan Ombudsman. Pertama, kajian ini dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas pencegahan maladministrasi oleh Ombudsman RI, khususnya mengenai penyelenggaraan pelayanan publik pada sektor pertambangan. Kedua, kajian sistemik ini dapat mendorong pihak-pihak terkait dalam perbaikan sistem, pemenuhan standar pelayanan, penempatan pelaksana yang berkompeten, serta pelayanan yang berkualitas di sektor pertambangan mineral dan batubara yang mampu menciptakan kondisi perekonomian bangsa yang sejahtera.

Sedangkan tujuan kajian ini, pertama, untuk mengetahui gambaran umum dan probematika penyelenggaraan tata kelola izin usaha pertambangan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Mineral dan Batubara. Kedua, mengidentifikasi hambatan dan kendala dalam pelaksanaan Izin Usaha Pertambangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Mineral dan Batubara.

“Lokasi pengambilan data dalam kajian ini dari lima provinsi berbasis pertambangan, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara,” sebutnya.

Metode dan Kesimpulan Sementara

Hery Susanto selanjutnya menjelaskan metode yang digunakan tim kajian Ombudsman, yaitu metode wawancara dalam penelitian untuk mengetahui keterangan dari informan yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Teknik ini sebagai teknik pengambilan sampel informan dengan pertimbangan tertentu yang relevan dengan membagi subyek sumber keterangan berdasarkan tiga bagian.

Pertama, informan kunci sebagai orang pertama yang banyak mengetahui mengenai permasalahan terkait kajian. Kedua, informan ahli atau orang yang dengan kompetensinya berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Ketiga, informan pendukung selaku orang yang mengetahui tentang fokus permasalahan yang dikaji.

Kegiatan kajian ini dimulai April untuk tahap koordinasi awal rencana kegiatan hingga penyusunan permintaan data tambahan dan konfirmasi temuan dari Oktober sampai November 2022. Sementara finalisasi hasil kajian pada  Desember 2022.

“Tren laporan pertambangan ke Ombudsman cenderung meningkat dari 22 laporan di 2020 menjadi 41 laporan di 2021, kemudian menurun di 2022 sebanyak 21 laporan. Ombudsman melihat, karena adanya residu atau sisa dari proses perizinan yang sebelumnya dilakukan di daerah. Sebelumnya kewenangan proses perizinan itu diserahkan ke pemerintah kabupaten dan kota, kemudian dilimpahkan ke provinsi, baru ditarik ke pusat,” ungkapnya.

Dari peralihan kewenangan ini, belum semua permasalahan pertambangan diakomodir. Masih ada laporan yang tertinggal atau terlewatkan.

“Jadi sebetulnya kasus maladministrasi yang terjadi saat ini lebih karena faktor peralihan penanganan perizinan yang telah dilimpahkan dari kabupaten dan kota ke provinsi kemudian ke pemerintah pusat,” tukasnya.

Ia melanjutkan pemaparan mengenai status penyelesaian laporan terkait pertambangan dari 2020 hingga 2022. Penyelesaian laporan di 2020 sebanyak 50 pelaporan, 13 laporan dilakukan proses pemeriksaan, 16 diproses LAHP, dan 5 laporan masih dalam tahap monitoring.

Ketika Hery Susanto menyampaikan kesimpulan sementara dari kajian ini, tim kajian dari Ombudsman RI menyoroti terkait regulasi kebijakan.  Menurut tim kajian, Keputusan Menteri ESDM Nomor 15.K/HK/02/MEM.B/2022 tentang Tata Cara Proses Penerbitan dan Pendaftaran Izin Usaha Pertambangan, suatu kebijakan yang perlu dikaji ulang. Karena, pertama, ketentuan yang membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat 2 tahun sejak pertama kali permohonan perizinan pada saat IUP masih berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak didasarkan oleh ketentuan yang tepat.

Kedua, jika Kepmen ESDM tersebut didasarkan pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang mengamanatkan laporan masyarakat harus memenuhi persyaratan “Peristiwa”, tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2 tahun sejak peristiwa, tindakan atau keputusan yang bersangkutan terjadi, maka telah terjadi penafsiran yang tidak tepat.

Ketiga, dalam prosesur penanganan laporan pertambangan di Ombudsman, tim pemeriksa akan menindaklanjuti laporan dengan mendasarkan  pada waktu permohonan yang diajukan oleh pelapor kepada Kementerian ESDM dan tidak memperoleh tindak lanjut penyelesaian yang memadai, bukan didasarkan pada waktu perizinan di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Apabila permohonan kepada Kementerian ESDM diajukan lebih dari 2 tahun sebelum menyampaikan laporan kepada Ombudsman, maka hal tersebut bersifat dinyatakan kadaluarsa. (Syarif)

Artikulli paraprakEkosistem Kendaraan Listrik Upaya Percepatan Transisi EBET dan Industri Kendaraan Listrik
Artikulli tjetërOmbudsman RI Lakukan Kajian Bertujuan Cegah Maladministrasi di Sektor Pertambangan