NIKEL.CO.ID, 7 Oktober 2022-Cadangan nikel kadar rendah atau limonit Indonesia lebih besar dibandingkan kadar tinggi atau saprolit. Namun, menjadi sia-sia jika limonit tidak dimanfatkan sejak dini.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan, Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan larangan ekspor nikel ore pada 2020. Dalam waktu dekat, akan dibuat larangan ekspor untuk komoditas bauksit dan timah.
Kebijakan larangan ekspor nikel ore, untuk memaksimalkan sekaligus memberi nilai tambah komoditas mineral logam ini. Untuk limonit, misalnya, akan diolah sebagai bahan baku katoda dan prekursor baterai listrik.
“Kebijakan pemerintah ini bisa memberikan insentif kepada pengusaha di dalam negeri untuk pembuatan EV battery,” kata Rizal Kasli dalam diskusi Indonesia Electric Vehicle Forum 2022 yang diselenggarakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan National Battery Research Institue (NBRI) di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (7/10/2022).
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengutarakan, Indonesia sebenarnya bisa menjadi produsen baterai listrik global. Karena, Indonesia memiliki kandungan dan cadangan nikel terbesar di dunia sebagai bahan baku baterai listrik. Berdasarkan data APNI, cadangan terukur nikel Indonesia sebesar 4,6 miliar ton, terdiri dari cadangan saprolit sekitar 900 miliar ton dan cadangan nikel kadar rendah atau limonit 3,7 miliar ton.
Ia mengutarakan, saat ini sudah ada 42 badan usaha yang beroperasi mengolah nikel. Yang sudah melakukan tahap konstruksi sebanyak 35 badan usaha, tahap perencanaan 59 badan usaha. Jadi, totalnya 136 badan usaha. Badan usaha ini sudah terdaftar dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Kementerian Investasi/BKPM.
Hanya saja, kata Meidy Katrin Lengkey, jumlah badan usaha ini tidak sebanding dengan jumlah perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas di hulu. Sebelum ada SK pencabutan 2.078 IUP oleh pemerintah, ada 338 IUP, sesudahnya tinggal 126-an IUP. Kemungkinan akan bertambah setelah ada pemulihan 18 IUP dari pemerintah, setelah mereka berjuang melakukan upaya keberatan atas pencabutan IUP tersebut.
“Pembangunan pabrik nikel membutuhkan biaya besar. Jangan sampai mereka yang sudah berinvestasi besar di sektor hilir, nantinya kekurangn suplai bijih nikel dari pelaku hulu. Apakah kita akan impor bijih nikel dari luar negeri,” tuturnya.
Disebutkan, saat ini sudah ada 38 badan usaha pirometalurgi yang melakukan kegiatan usaha pengolahan untuk produk NPI, ferronickel, dan nickel matte. Sedangkan pabrik hidrometalurgi sudah beroperasi sebanyak 4 badan usaha, 5 badan usaha dalam tahap konstruksi, dan 1 badan usaha dalam tahap perencanaan. Jadi, jumlahnya 10 badan usaha. Sementara, jika 136 pabrik pirometalurgi semuanya sudah beroperasi, diperkirakan membutuhkan lebih dari 413.764.000 ton saprolit.
Dirinya mengkhatirkan cadangan nikel di Indonesia, lantaran lebih banyak pabrik pirometalurgi yang hanya mengolah saprolit untuk menjadi produk nikel kelas 2. Karena itu, dia mengusulkan pemerintah untuk memoratorium pembangunan pabrik pirometalurgi. Investasi yang datang sebaiknya digunakan untuk membangun pabrik pengolahan nikel kelas 1 serta produk jadi, seperti stainless steel atau baterai listrik. Hal ini untuk membantu pemasukan devisa negara.
Vice President Technology PT Hydrotech Metal Indonesia (HMI), Rulan Dinary sependapat dengan Meidy Katrin Lengkey. HMI adalah perusahaan research and development (R&D) pada proses metals dan mineral, yang berdiri tahun 2020. HMI telah mematenkan teknologi pengolahan nikel kadar rendah Step Temperature Acid Leach (STAL) di lima negara, yaitu Indonesia, Jepang, New Caledonia, Philipina, dan Kanada.
Menurutnya, EV battery sudah mengarah ke kebutuhan nikel kelas 1 untuk produk LNC (lithium, nikel, cobalt), NMC (nikel, mangan, cobalt), atau NMA (nikel, mangan, aluminium). Jadi, semua ada unsur nikel (Ni).
Diungkapkan, selama ini pabrik hanya mengambil saprolit yang berada di bagian bawah tanah. Sebelum diambil bagian bawah, maka harus membongkar dulu bagian atas. Saat ini, nikel kadar rendah (bagian atas) hanya menjadi overburden, karena pengolahan limonit menggunakan teknologi pirometalurgi dinilai tidak ekonomis.
“Untuk pengolahan saprolit membutuhkan 157 juta ton ore nikel per tahun. Jika penambang mengambil 157 juta ton ore nikel, maka akan terbongkar 4 kali lipat limonit, atau setara 2 miliar ton limonit dalam enam tahun ke depan,” kata Rulan.
Maka, sarannya, dibutuhkan dukungan dari pemerintah dan pihak-pihak terkait agar memaksimalkan juga potensi limonit agar tidak sia-sia.
Disebutkan, saat ini ada 6 pabrik mulai berjalan menggunakan metode HPAL. Dari 6 smelter ini, bisa menghasilkan 241 ribu ton nikel di tahun 2025. Untuk menghasilkan 241 ribu nikel, maka dibutukah 19 juta ton limonit. Cadangan limonit Indonesia sekitar 3,6 miliar ton.
“Kalaupun di Indonesia ada 300-an IUP nikel, namun baru 30 IUP yang memiliki konsesi di atas 5.000 hektare. Selebihnya hanya melakukan aktivitas pertambangan nikel di bawah 5.000 hektare. Jika penambangnya lebih banyak berskala kecil, untuk memenuhi suplai pabrik HPAL yang kapasitasnya 20 ribu ton nikel per tahun, secara ekonomis tidak bisa membayar biaya produksi pertambangan tersebut. Sehingga pertambangan skala kecil itu menjadi terbengkalai dan tidak bisa mensuplai limonitnya,” paparnya.
Menurunya, limonit mengandung nikel kadar rendah, katakan kadarnya 1%. Sisanya, 99% tidak terpakai atau menjadi limbah. HPAL memproduksi lebih dari 1,5 juta ton limonit.
“HMI sudah lisensikan hak patennya, yaitu teknologi STAL yang menghasilkan produk intermediate sebelum menjadi baterai prekursor atau katoda. Intermediate produknya MHP. STAL pun dapat mengolah limbah dari proses produksi MHP menjadi produk yang berharga. Jadi semuanya punyai nilai uang,” jelasnya.
Co Founder NBRI, Profesor Evvy Kartini optimis Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai listrik. NBRI sendiri tak hanya melakukan riset, namun sudah berhasil membuat katoda dan anoda baterai listrik.
Disampaikan, pemerintah sudah membuat beberapa kebijakan dan peraturan yang mendukung pembangunan baterai listrik di Tanah Air. Tak hanya itu, baru-baru ini Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 yang mewajibkan kementerian/lembaga, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah untuk menggunakan kendaraan berbasis baterai listrik.
“Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar dunia. Jika nanti, industri baterai sudah berdiri di Indonesia, maka sumber daya manusia dari Indonesia harus lebih dominan dibandingkan SDM dari luar negeri,” serunya.
Lithium Marketing Director ABC Battery, Hermawan Wijaya, juga menyakini Indonesia menjadi pemain baterai listrik dunia. Saat ini ABC sedang memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik, baik untuk sepeda, motor, mobil, hingga bus.
“ABC Battery sudah didukung semua teknologi untuk memproduksi sel baterai. Untuk tahap pertama memproduksi 1.500-an sel baterai yang selanjutnya akan diproses menjadi battery pack,” kata Hermawan. (Tim)