Beranda Berita Nasional Menelisik Peluang dan Tantangan Nikel di Indonesia dalam Diskusi Mining Outlook yang...

Menelisik Peluang dan Tantangan Nikel di Indonesia dalam Diskusi Mining Outlook yang Diselenggarakan Majalah Tambang pada 9 Desember 2021

1503
0
  • Menelisik Peluang dan Tantangan Nikel di Indonesia dalam Diskusi Mining Outlook yang Diselenggarakan Majalah Tambang pada 9 Desember 2021
Diskusi Indonesia Mining Outlook 2022 yang diselenggarakan Majalah Tambang di JS Luwansa Hotel Jakarta, Kamis (9/12/2021)

 

NIKEL.CO.ID-Komoditas Nikel Indonesia saat ini sedang booming. Negara-negara di dunia sedang mengincar Nikel Indonesia. Perkembangan produk kendaraan listrik, baterai berbasis energi baru terbarukan (EBT), menjadikan Nikel semakin dibutuhkan dunia. Karena produk-produk tersebut menggunakan Nikel beserta produk turunannya.

Pertanyaannya, Indonesia sebagai penghasil Nikel terbesar di dunia, sudah memberikan manfaat khususnya bagi masyarakat Indonesia, umumnya bagi penambang di sektor hulu, industri hilir, dan negara.

Direktur PT Halmahera Persada Lygend, Tony Gultom menjabarkan tentang peluang dan tantangan pengembangan industri berbasis Nikel di Indonesia di acara Mining Outlook 2022 di Hotel JS Luwansa Jakarta, Kamis (9/12/2021).

Sebagai informasi, Halmahera Persada Lygend (HPL) merupakan salah satu unit bisnis dari Harita Nickel yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Pulau Obi, Maluku Utara.

Tony mengatakan bahwa Indonesia salah satu negara yang memiliki cadangan dan produksi Nikel di dunia. Kelebihan yang dimiliki Indonesia terhadap Nikel:

  1. Karena wilayah Indonesia terletak di antara lempeng tektonik yang masih aktif.
  2. Umur laterit yang relatif lebih muda dibandingkan negara lain seperti di Afrika, Amerika Selatan, Australia, atau Eropa.
  3. Periode laterisasi yang sangat aktif diperpanjang dari sekitar usia Miosen hingga saat ini.
  4. Mineralogi batuan dasar dan topografi yang sesuai, serta iklim tropis dan lembab.

Sementara tantangan pengembangan industri berbasis Nikel, dipaparkan Tony, Indonesia curah hujannya tinggi sedangkan profil laterit dengan variasi kandungan kimia secara vertikal membuat bukaan tambang harus luas. Kadang-kadang bukaan tambang lebih dari satu face dan harus menyesuaikan dengan spesifik bijih Nikel yang dibutuhkan pabrik.

“Semakin luas bukaan tambang, tentunya memerlukan pengelolaan air tambang yang tepat,” kata Tony.

Tantangan lainnya, kedalaman dan ketebalan lapisan limonit, transisi, saprolit bervariasi pada area yang sama termasuk komposisi metal seperti Fe, Mg, Al, Cr yang sangat bervariasi. Sering dijumpai lapisan campuran antara limonit dan saprolit dan campuran lapisan saprolit dan bedrock. Moisture Content (MC) atau kandungan air sangat bervariasi 25% – 50%. Memerlukan sequence mining yang tepat supaya top ore dapat diblending dengan bottom ore untuk dapat chemistry yang tepat. Untuk kebutuhan operasi hydrometalurgi harus selektif mining dan pengelolaan stockpile yang tepat dikarenakan pabrik refinery hydrometalurgi sensitif dengan beberapa kandungan kimia. Mg, Al dan Fe adalah metal yang mengkonsumsi asam sulfat dalam jumlah besar.

“Sementara Ni (Nikel) grade dan variasi komposisi metal membutuhkan lahan stockpile yang luas dan diperlukan management stockpile yang tepat dan pertimbangan jangka panjang,” ujarnya.

Menurut Tony, Nikel sebenarnya sudah lama diketahui sebagai bahan baku baterai. Di tahun 80-an ada Nikel cadmium yang sudah dipakai untuk bahan baku baterai. Tahun 90-an baterai sudah dipakai untuk mobil listrik.

“Sekarang Nikel mendapat banyak manfaat dari peningkatan penjualan electric vehicle (EV), tetapi ada ketidakpastian perkiraan yang signifikan untuk pemenuhan EV,” ungkapnya.

Ia menyebutkan, di tahun 2025 dibutuhkan 590 kilo ton Nikel. Tahun 2030 dibutuhkan 1,3 juta metric ton Nikel.

Nikel sendiri memiliki kelebihan storage, bisa menyimpan lebih lama listrik di dalam baterai. Semakin tinggi Nikel yang digunakan, maka storage-nya semakin baik.

“Hingga 2021 rasio kebutuhan Nikel untuk baterai semakin besar. Sekarang sudah banyak yang pakai NCM 622 (Porsi Nikel 60%, Cobalt 20%, Mangan 20%-red), dan sudah mengarah ke NCM 811 (Nikel 80%, Cobalt 10% dan Mangan 10%). Jadi komposisi Nikelnya lebih besar,” imbuhnya.

Kondisi ini menjadi salah satu opportunity dari kebutuhan Nikel di baterai. Produksi baterai untuk kendaraan listrik yang meningkat, diperkirakan kebutuhan akan bertambahkan sebesar 30% di pasar dunia pada 2030.

Terkait industri hilir dalam negeri yang mengolah bijih Nikel, menurut Tony, saat ini sudah ada pabrik pirometalurgi yang didominasi oleh feroNikel (FeNi) dan Nikel pig iron (NPi) yang masih merupakan intermediate product. Sedangkan kebutuhan ore saprolite sampai saat ini sekitar 205 juta per tahun untuk mencapai kapasitas produksi FeNi 17,7 juta ton per tahun dan NPi 8 juta ton per tahun.

Direktur  PT Halmahera Persada Lygend, Tony Gultom saat menerima pelakat sebagai narasumber oleh Dirut Majalah Tambang, Atep A. Rofik

“Maka perlu didorong agar rantai industri ini lebih panjang hingga ke stainless steel atau  forming product lebih ke hilir lagi,” lanjutnya.

Sedangkan pabrik hydrometalurgi, menurutnya, baru ada sepuluh perusahaan hydrometalurgi. Terdiri dari dua perusahaan yang sudah beroperasi, lima tahap kontruksi, dan tiga dalam perencanaan. Pabrik hydrometalurgi membutuhkan ore limonite sekitar 47,8 juta ton per tahun.

Sementara penerapan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sudah beroperasi di Indonesia baru pabrik yang menghasilkan produk Mix Hydroxide Precipate (MHP) dari bijih Nikel berkadar rendah. Direncanakan produksi terbesar dari MHP sekitar 928 ribu ton per tahun.

“Kalau kita lihat sebaran produksinya (MHP) lebih banyak di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.  Dari proyek HPAL yang sudah beroperasi diperkirakan bisa memproduksi MHP 937,5 ton,” tuturnya.

Permasalahan Tata Niaga Bijih Nikel

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (Sekjen APNI), Meidy Katrin Lengkey, yang didaulat sebagai penanggap di acara diskusi Mining Outlook 2022 tersebut mengakui bahwa Nikel Indonesia sedang diincar dunia, seiring banyaknya permintaan untuk kebutuhan bahan baku baterai dan kendaraan listrik.

“Kami baru saja melakukan kunjungan ke beberapa negara terkait industri baterai, dan memang betul Nikel Indonesia saat ini sedang diincar negara-negara lain untuk bahan baku baterai,” kata Meidy.

Menyoal pembangunan industri hilir, baik pyrometalurgi maupun hydroperlurgi, menurut data APNI totalnya 81 industri, yang terdiri dari 71 perusahaan pyrometallurgy dan 10 perusahaan Hydrometallurgy, jumlahnya diperkirakan akan bertambah. Kondisi industri hilir tersebut saat ini ada beberapa badan usaha masih dalam proses perizinan, ada yang mangkrak terkait persoalan energi, ada juga yang terkendala perizinan tata ruang, dan kendala lainnya.

“Artinya, menurut data APNI jumlah industri hilir Nikel lebih dari 81 pabrik,” kata Meidy.

Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey menerima pelakat sebagai penanggap dari para narasumber oleh Presdir Exxon Mobil, Syah Reza.

APNI yang merupakan wadah bagi para penambang di sektor hulu, lebih concern dalam pemenuhan kebutuhan bijih Nikel. Berdasarkan data APNI, saat ini dari 328 IUP Nikel–di luar 2 KK, tidak sampai 100 perusahaan pertambangan di sektor hulu yang benar-benar aktif melakukan produksi bijih Nikel. Perusahaan pertambangan Nikel lainnya masih terkendala perizinan, Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB), lainnya.

“Jika dihitung dari 81 badan usaha industri hilir Nikel saja,  total kebutuhan bijih Nikel yang akan diproduksi sekitar 265 juta ton per tahun. Jika benar-benar terealisasi penambang kaya ya,” tuturnya.

Dari jumlah kebutuhan input bijih Nikel 265 juta ton per tahun tersebut, dijelaskan Meidy, terbagi bijih Nikel kadar tinggi saprolite sekitar 165,5 juta ton per tahun, kemudian limonite atau law grade-nya 78,7 juta ton per tahun. Ini angka fantastis, karena dari beberapa perusahaan industri hilir yang sudah berproduksi, berdasarkan transaksi hingga akhir Oktober 2021 baru menyerap ore Nikel sekitar 73 juta ton. Dari angka Itu terbagi dari limonite dan saprolite.

“Saat ini baru dua pabrik yang mulai mau menyerap limonite untuk memaksimalkan bijih Nikel kadar rendah,” kata Meidy.

Ia juga menyampaikan keluh kesah para penambang terkait harga patokan mineral (HPM). Harga pembelian bijih Nikel tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Mineral Logam dan Batubara.

Menurut Meidy, perkembangan komoditas Nikel hingga saat ini harganya terus merangkak naik. Kenyataannya, transaksi penjualan bijih Nikel tidak sesuai dengan peraturan HPM. Transaksi jual-beli yang seharusnya berbasis Free On Board (FOB), di mana penjual berkewajiban membayar royalty, PPh (PNBP) ke negara berdasarkan harga HPM FOB, tapi dalam pelaksanaannya transaksi yang dilakukan pelaku hilir dilakukan berdasarkan CIF (Cost, Insurance, and Freight). Akhirnya, para penambang mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya yang sudah ditentukan dalam transaksi FOB. Di antaranya harus menanggung subsidi biaya pengiriman ke pelabuhan bongkar. Sehingga terjadi banyak perbedaan, seperti:

  • Pembayaran PNBP mengacu ke hasil verifikasi di terminal muat oleh surveyor yang ditunjuk oleh penambang.
  • Pembayaran transaksi mengacu ke hasil verifikasi di terminal bongkar oleh surveyor yang ditunjuk oleh smelter.
  • Jika terjadi perbedaan hasil verifikasi antara terminal muat dan bongkar, hasil verifikasi mengacu ke umpire yang telah  disepakati bersama dalam kontrak. (banyak tidak terjadi proses umpire)
  • Hasil verifikasi terminal bongkar yang cenderung lama terbit mengakibatkan mekanisme umpire sulit diaplikasikan.
  • Potensi Kerugian Penerimaan Negara (PNBP)

“Dua bulan terakhir anggota APNI mengeluhkan, di mana sudah ada kontrak-kontrak bijih Nikel limonite tapi harganya kami ibaratkan harga bunuh diri. Karena harga limonite itu tidak masuk akal, selain kami harus melakukan transaksi secara CIF. Kalau kami hitung bukannya untung atau pas-pasan, tapi rugi,” paparnya.

Meidy mengakui bijih Nikel kadar rendah memang tidak ada tertera dalam HPM. Karena itu, pihaknya sudah berkirim surat ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM serta ke Satgas HPM untuk merivisi kembali harga HPM khusus limonite dan memperhitungkan juga mineral lainnya yang terkandung dalam bijih Nikel lemonite seperti unsur Cobalt (Co) sehingga bisa menambah pemasukan PNBP untuk negara.

Selain itu, Meidy juga menyinggung perusahaan jasa survey. Sekitar 90% hasil analisa akhir dari surveyor menunjukkan ketidaksesuaian jumlah kadar Nikel dari penambang. Hasil akhirnya kerap menurunkan kadar bijih Nikel, dan menaikan unsur ratio SiO/MgO dan Kadar Air (MC) dari penambang, kebanyakan unsur MC di pelabuhan bongkar menjadi 40% bahkan 45%, logikanya jika unsur kadar air sudah melebihi 35% perusahaan tongkang pasti akan langsung menolak untuk mengangkut. APNI mengusulkan kepada pemerintah untuk perusahaan jasa survey:

  1. Penerapan Akreditasi Surveyor dan Laboratorium Pengujian serta Sampling, harus sesuai Komite Akreditas Nasional (KAN).
  2. Mensyaratkan kepada seluruh perusahan jasa surveyor untuk Wajib dilakukan Standard Nasional Indonesia (SNI) melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN):
    1. 1 Metode Sampling
    2. Quantity pengambilan sample
    3. Sertifikasi Personel
    4. Jangka Waktu Kalibrasi Laboratorium
    5. Memberlakukan minimal 2 atau 3 perusahaan jasa surveyor dalam sekali sampling Analisa (muat)
  3. Menggunakan 1 (satu) Metode Sampling Analisa (American Standard/XRF) mengingat bahwa standard verifikasi Analisa kualitas bijih Nikel yang menggunakan Japanese Industrial Standard (JIS) kurang relevan dengan keadaan lapangan.
  4. Sumber Daya Manusia harus berdasarkan Lembaga Sertifikasi, agar menghasilkan personel yang berkompeten.
  5. Kementerian ESDM menyempurnakan Keputusan KEPMEN ESDM Nomor 154 K/30/MEM/2020 mengenai Tata cara penetapan Surveyor untuk Verifikasi Analisa kuantitas dan kualitas penjualan mineral dan batubara. Dilakukan bagi IUJS yang terakreditasi, dan bersertifikasi SNI dan SNIK dan tercatat di Kementerian ESDM.
  6. Menteri ESDM agar menetapkan panduan petunjuk teknis mengenai standard verifikasi kualitas bijih Nikel yang masih dinilai kurang relevan dengan kondisi di lapangan.
  7. Penerapan Witness Survey Verification di titik muat dan melibatkan setiap pihak dalam kegiatan penjualan bijih Nikel.
  8. Pengawasan pelaksanaan verifikasi kualitas dan kuantitas penjualan mineral secara tergulasi dan berkala di semua laboraturium perusahan jasa surveyor.

Berdasarkan kondisi keadaan transaksi bijih nikel saat ini APNI mengusulkan kepada pemerintah terkait tata niaga bijih Nikel secara umum:

  1. Memberlakukan seluruh transaksi berbasis pelabuhan muat (FOB) dikarenakan pembayaran PNBP dan transaksi mengacu ke hasil verifikasi di terminal muat (FOB) oleh surveyor yang disepakati bersama  oleh penambang dan smelter. Dengan demikian, maka:
    • Transaksi menjadi efisien karena verifikasi hanya 1 kali saja.
    • Dwelling time terminal bongkar menurun.
    • Cashflow penambang menjadi cepat, sehingga  ketergantungan terhadap trader dapat berkurang.
    • Tidak ada lagi kasus reject yang merugikan penambang.
  1. Semua acuan metode perusahaan jasa survey wajib dilakukan Standard Nasional Indonesia (SNI) melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan terakreditasi melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai Lembaga Pemerintah non-Kementerian Indonesia dengan tugas pokok bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian di negara Indonesia.

Cara ini tidak lazim diterapkan dalam proses bisnis perdagangan internasional. Diperlukan intervensi pemerintah  yang cukup besar dalam mengubah proses B2B.

Para penambang Nikel pun menuntut keadilan dalam proses tata niaga bijih Nikel ke pemerintah. (Syarif/Rusdi).