
Ekonom Indonesia Faisal Basri ingin Harga Patokan Mineral (HPM) yang diterapkan saat ini dirasionalisasi. Mengapa?
JAKARTA, NIKEL.CO.ID
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan mineral sangat tinggi. Misalnya mineral nikel, Indonesia menempati posisi ketiga teratas tingkat global. Selain itu, Indonesia mencatatkan kontribusi sebesar 39% untuk produk emas, berada di posisi kedua setelah China. Hal ini menjadikan Indonesia selalu masuk dalam peringkat 10 besar dunia.
Dengan potensi mineral yang sangat besar, sektor pertambangan turut berkontribusi dalam menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dalam penerapannya, perusahaan pertambangan mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
“Kita punya kekayaan alam dari sektor pertambangan. Lalu kita perkenalkan pada negara asing yang punya teknologi, kemudian dilakukan upaya-upaya treatment terhadap pertambangan kita. Kalau sekarang, bisa dikatakan yang baru-baru ini semua dari China. Secara tidak langsung perusahaan-perusahaan ini, mungkin, karena aspalnya dari satu negara, mereka kompak untuk menjadi pembeli tunggal, semacam monopoli,” kata ekonom Indonesia, Faisal Basri, kepada Nikel.co.id, baru-baru ini.
Flashback di era Presiden Soeharto, diingatkan Faisal Basri, ada yang namanya BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh) yang punya kekuatan monopoli untuk membeli cengkeh. Cengkeh itu tidak bisa dijual, kecuali kepada BPPC.
Sementara untuk komoditas nikel, lanjut Faisal, tidak mungkin bisa dijual kepada pihak lain kecuali ke pihak smelter di China ini. Hal ini karena mereka tidak boleh eksplorasi, maka tidak ada pilihan lain. Kekuatan mereka sedemikan luar biasa. Mereka bisa menentukan, apakah kualitas nikel kita jelek atau bagus. Jika kualitas nikelnya jelek, maka dikenakan penalti.
“Kalau sekarang saya hitung ya, jauh lebih untung buat Indonesia untuk mengexsplore orenya, karena apa? Jika kita mengeksplorasi ore, yang memperoleh keuntungan dan dengan harga tinggi di pasar internasional adalah penambang kita, harganya 82 dollar. Jika dijual ke smelter China 19 dollar, yang untung adalah smelter China,” papar Faisal.
Selain itu, masih menurut Faisal, pemerintah bisa mendapatkan pajak dari kegiatan eksplorasi. Pemerintah bisa dapat pendapatan dari keuntungan perusahaan tambang. Jika yang memperoleh keuntungan perusahaan smelter China, mereka juga bayar pajak badan, karena ada tax holiday.
Faisal menekankan, terkait pengaturan harga jual nikel, kita ingin dilakukan rasionalisasi HPM (Harga Patokan Mineral). Pemerintah harusnya jangan menetapkan HPM komoditas mineral sangat rendah. Berbeda ketika Kementerian ESDM pada saat bersamaan menetapkan juga harga minyak.
“Harga minyak dalam ICP (Indonesia Club Price) itu betul-betul mencerminkan harga internasional. Bedanya hanya cuma 1 sampai 2 dollar. Tapi untuk nikel, mengapa bedanya sampai separuhnya. Inilah kebodohan kita. Mosok hak kita bisa menjual keluar negeri dengan harga 80 dollar, pemerintah tetapkan, “eh kamu jangan beli 80 dollar, beli 40 dollar saja.” Karena, tidak ada satu negara pun yang menerapkan dengan bodoh seperti itu,” beber Faisal. (Fia/Herkis/Syarif)