
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey membuka Diskusi Awal Tahun APNI-NBRI
NIKEL.CO.ID, 6 Januari 2022-Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Rabu (5/1/2022) kemarin menggelar Diskusi Awal Tahun APNI-NBRI. Rencananya APNI berkolaborasi dengan NBRI akan membentuk sebuah divisi riset nikel. Divisi ini berusaha menjawab berbagai permasalahan nikel di Indonesia dari hulu hingga hilir melalui riset dan kajian-kajian.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, Diskusi Awal Tahun APNI-NBRI adalah program pertama dari 9 program kerja APNI di 2022. APNI sebagai mitra pemerintah ikut berperan memperbaiki sistem hulu dan hilir nikel di Indonesia. Baik bagi penambang, investor, maupun pabrik smelter.
“APNI berencana akan bekerja sama dengan NBRI untuk membentuk suatu divisi khusus riset nikel. Kerja sama APNI dengan NBRI diharapkan bisa menjawab keluhan-keluhan pelaku penambang agar ke depan kita bisa menguasai teknologi, kuasai cadangan nikel, dan kita bisa kuasai asing,” jelas Meidy.
NBRI merupakan platform yang menyatukan ilmuan, akademisi, mitra industri, pemerintah, dan semua pemangku kepentingan yang fokus pada teknologi baterai dan energi terbarukan. Korelasi kerja sama APNI dengan NBRI karena nikel saat ini sebagai bahan baku pembuatan baterai, khususnya katoda sebagai tenaga penggerak kendaraan listrik yang sedang diboomingkan Pemerintah Indonesia. Selain divisi ini juga nantinya melakukan riset dan kajian-kajian tentang dunia nikel di Indonesia.
“Kalau bicara NBRI, berarti bicara baterai. Namun, kita tidak hanya membicarakan end product, harus bicara juga dari hulu. Ketika kita bicara hulu, kita bicara juga sumbernya, yaitu nikel,” kata Founder NBRI, Profesor Evvy Kartini kepada Nikel.co.id
Founder NBRI, Profesor Evvy Kartini (berhijab) sedang memaparkan proses nikel menjadi katoda untuk baterai listrik
Menurut Profesor Evvy, dari hasil diskusi ini, dirinya menggaris bawahi beberapa poin. Pertama, APNI dan NBRI akan membuat kajian tentang nikel di Indonesia. Karena, sampai saat ini banyak kajian tentang nikel di Indonesia, tapi terpilah-pilah, tidak disatukan. Ia mencontohkan keberadaan BCG (Boston Consulting Group), sebuah biro konsultasi manajemen di Amerika. BCG juga bermitra dengan perusahaan lain untuk melakukan riset , perancangan, dan peluncuran produk dan layanan baru. Jika nanti sudah terbentuk divisi riset nikel, hasil kajian dan risetnya diharapkan bisa jadi rujukan untuk menjawab berbagai persoalan nikel mulai dari hulu hingga hilir.
“NBRI sebagai lembaga independen akan bantu APNI untuk kerja sama pembentukan divisi riset nikel. Jadi, nanti ada kajian dan riset tentang nikel. Saya pikir ini sangat bagus,” ujarnya.
Profesor Evvy juga mengungkapkan bahwa dari pertemuan diskusi ini ternyata ada take and action. Salah satunya Maria Chandra, pelaku usaha industri nikel yang sudah melakukan kajian mengolah nikel menjadi nikel sulfat.
“Dari nikel sulfat itu, nanti di NBRI akan ditingkatkan nilai tambahnya dengan diproses menjadi katoda. Saya kira ini yang benar-benar real dari karya dalam negeri,” ujar Profesor Evvy.
Ia menambahkan, di divisi riset nikel ini nantinya ada program pelatihan-pelatihan, salah satunya melalui e-learning untuk menjawab kebutuhan industri nikel.
“Jika sekarang kita mempersoalkan kehadiran TKA di industri, kita punya tidak keahlian yang dimiliki TKA tersebut. Jika skill dan ilmu kita sudah mumpuni, industri itu bisa juga take over pekerjaan yang biasanya di-handle TKA. Jadi, kita jangan hanya sebagai penonton,” paparnya.
Pengetahuan dan penguasaan skill tersebut, lanjutnya, harus dididik secara fokus. Bisa dimulai dari siswa SMK. Seiring berkembangnya teknologi, metoda pembelajaran bisa melalui jarak jauh dengan cara e-learning.
Profesor Evvy juga menekankan pentingnya penguasaan teknologi.
“Orang Indonesia maunya yang mudah-mudah saja. Maunya membeli saja, tidak mau membuat sendiri, Yang terjadi, teknologi sederhana saja kita tidak menguasai,” imbuhnya.
Ia bercerita, sebagai peneliti selama 30 tahun di BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), dirinya tertantang ingin mencoba membuat katoda sebagai sumber energi baterai. Ketika mulai mempelajari hingga berhasil membuat proses pembuatan katoda, menurutnya ternyata tidak begitu susah.
“Artinya, bisa kita pelajari lah. Makanya kita harus rajin membaca,” sarannya.
Toh, jika Profesor Evvy mengalami suatu kendala, ia bisa membangun komunikasi dengan peneliti internasional. NBRI mempunyai koneksi dengan pihak-pihak expert di bidang penelitian dari masing-masing kajian.
Prof. Evvy Kartini foto bersama pengurus APNI dan perwakilan Wantanas
“Sejak berdirinya NBRI memang punya benchmark dari negara maju, yaitu UK-Inggris. Co-Founder NBRI, yaitu Profesor Alan J. Drew pun dari Inggris. Saya yakin, kalau kita sudah pakai standar internasional, kita lebih dipercaya,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam kurun satu tahun berdirinya NBRI, institusi ini sudah mendapatkan sertifikasi ISO 9001, 5001, dan 14001. Karena itu, dirinya menekankan, semua penambang juga harus punya ISO, mulai dari keselamatan kerja, kesehatan, dan standarisasi lainnya.
Dalam diskusi tersebut, hadir juga pengurus APNI antara lain Pj. Ketua Umum APNI Wiratno, Bendahara Umum Atonius Setiadi, dari Dewan Ketahanan Nasional yaitu Mayjen TNI Karev Marpaung dan Irjen Pol. Edi Mulyono, perwakilan dari Kementerian Investasi/BKPM, dan anggota APNI. (Syarif/Herkis)