Beranda Korporasi Damanik: Minimalisir OB, Smelter Harus Beli Nikel Kadar Rendah

Damanik: Minimalisir OB, Smelter Harus Beli Nikel Kadar Rendah

1431
0

Ucok Bangun Damanik minta smelter bertindak kooperatif kepada penambang. Foto: Nikel.co.id

NIKEL.CO.ID, 7 Januari 2022-Komisaris PT. Tiga Utama, Ucok Budiman Damanik mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel dalam bentuk raw material. Namun, ia meminta pabrik smelter bersedia membeli nikel kadar rendah dari penambang.

Ucok Budiman Damanik adalah salah satu pelaku usaha pertambangan nikel di Indonesia. Perusahaanya pernah mengekspor nikel sebelum akhirnya aktivitas itu dihentikan lantaran adanya peraturan larangan ekspor dari Pemerintah Indonesia.

“Sebelumnya kita bisa memproduksi 3 tongkang atau 25 ribu ton bijih nikel. Kita ekspor ke luar negeri dan menjual langsung ke pabrik. Kita mencari harga yang terbaik dan pembayarannya bagus,” kata Damanik kepada Nikel.co.id di Jakarta, baru-baru ini.

Di tahun 2021, Damanik kembali menggerakkan perusahaan pertambangannya. Selain mendaftarkan PT. Tiga Utama, ia juga mengajukan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Belanja) untuk PT. Kokomind. Dirinya sudah mengajukan pendaftaran melalui aplikasi MODI (Minerba One Data Indonesia) di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.

“IUP kita ada dua, yaitu PT. Tiga Utama untuk bidang pertambangan dan PT. Kokomid untuk bidang kontruksi. Aktivitas pertambangan PT. Tiga Utama seluas 2.400 hektar di Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah,” kata Damanik.

Damanik mengungkapkan, dari usaha pertambangan kadang perusahaannya mendapat profit, jika memproduksi nikel kadar bagus. Namun, ia harus menanggung kerugian jika memproduksi nikel kadar rendah.

Setelah adanya penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) dari pemerintah, Damanik merasakan cukup menolong para penambang. Setidaknya harga pembelian dari pabrik tidak terlalu jauh dari ketentuan HPM. Namun, itu pun untuk transaksi penjualan bijih nikel kadar tinggi.

Karena itu, Damanik meminta kepada pabrik atau smelter dengan adanya larangan ekspor bijih nikel, agar bertindak kooperatif. Pabrik atau smelter bersedia membeli nikel kadar rendah dari penambang.

“Jika nikel kadar rendah tidak diterima, maka akan menjadi OB (over burden), jadi timbunan tanah. Jika nikel kadar 1,4% atau 1,3% bisa masuk pabrik masih bisa bermanfaat bagi kami. Harusnya masih bisa difungsikan untuk bahan baku produk lainnya. Kalau tingkat teknologi smelternya canggih,” paparnya.

Masalahya, lanjut Damanik, jika nikel kadar rendah tidak bisa dibeli smelter, umur tambang semakin pendek. Karena proses penggalian itu sebelum ketemu nikel kadar tinggi, akan ketemu kadar rendah dulu.

“Tidak tiba-tiba ditambang langsung ketemu nikel kadar 1,8%. Urut-urutannya ketemu kadar 1%, kadar 1,3%, 1,4%, sampai 1,8%. Kalau kadar 1,3% bisa diterima smelter, maka umur tambang nikel semakin panjang dan depositnya makin besar. Mudah-mudahan dalam program baterai untuk kendaraan listrik bisa memanfaatkan nikel kadar rendah,” paparnya.

Dikatakan, kawasan pertambangan tidak hanya dibangun untuk 5 tahun, tapi untuk jangka panjang. Karena itu, agar cadangan ore-nya makin maksimal, maka hasil galian penambang untuk nikel kadar rendah harus dibeli pabrik atau smelter.

“Jika nikel kadar 1,2%, 1,3%, dan 1,4% tidak dibeli, maka akan jadi OB, sehingga biaya tambangnya makin besar,” tegasnya.

Ia mencontohkan, untuk memproduksi nikel kadar 1,8% depositnya sekitar 10 juta untuk area 2000 hektar. Tapi untuk nikel kadar 1,2%, 1,3%, dan 1,4% depostinya bisa dua kali lipat. (Syarif)

Artikulli paraprakDiskusi Awal Tahun APNI-NBRI, Bahas Wacana Pembentukan Divisi Riset Nikel
Artikulli tjetërPresiden Cabut 2.078 Izin Usaha Tambang, Ini Respons Pengusaha Tambang Nikel melalui APNI