Beranda Berita Nasional Denda Triliunan dan Aturan tak Tegas, Kepastian Hukum Tambang Dipertanyakan

Denda Triliunan dan Aturan tak Tegas, Kepastian Hukum Tambang Dipertanyakan

49
0
IUP, IPPKH, nikel, APNI, Djoko Widajatno, denda administrasi, denda pertambangan, SOP (Foto: MNI/Tb)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Ketidakpastian hukum masih membayangi dunia usaha pertambangan seiring belum tegasnya aturan terkait kesesuaian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin usaha pertambangan (IUP), serta perbedaan tafsir dalam proses penyidikan.

Hal tersebut disampaikan Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno, kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id), setelah acara “Konsolidasi Industri Nikel dalam Merespons Kebijakan Denda Pertambangan di Kawasan Hutan”, di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (16/12/2025).

“Ya umumnya semua sudah memegang IPPKH. Akan tetapi, yang terjadi adalah pengambilan data di luar IUP. Dan, IUP itu ada yang di luar IPPKH, ada yang di dalam IPPKH. Sehingga, ini tidak jelas. Maka, tadi ada yang di luar IPPKH dikenakan denda juga, yang di dalam juga dikenakan denda. Jadi, ketegasan dari aturannya belum ada,” ujarnya.

Selain persoalan perizinan, Djoko menyoroti lemahnya proses penyidikan yang dinilai tidak memiliki standar kemampuan yang seragam. Perbedaan latar belakang pihak yang melakukan penyidikan disebut berpengaruh terhadap validitas hasil pemeriksaan.

“Kemudian, kelemahan kedua adalah penyidikan dilakukan oleh berbagai orang yang memiliki latar belakang kemampuan berbeda-beda, sehingga hasilnya tidak bisa dijadikan sesuatu yang punya validasinya,” tegasnya.

Dia juga menyoroti pengenaan denda administrasi triliunan rupiah dalam kegiatan usaha pertambangan nikel yang dasar perhitungannya dinilai belum dijelaskan secara transparan.

“Sekarang ditanya kenapa kok datang 6,5 triliun, 6,5 miliar per hektare. Tapi yang tertinggi kena 6,5 triliun, Eramet 3,5 triliun. Dari mana menghitungnya? Itu dari BPKP katanya. BPKP ditanya dari mana? Dari penyidik. Penyidik yang mana? Tidak tahu,” katanya.

Persoalan lain, lanjutnya, terletak pada penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang sama, tetapi dipahami secara berbeda oleh masing-masing penyidik. Perbedaan penafsiran ini berdampak pada hasil perhitungan luas wilayah maupun nilai denda.

“Jadi, kadang-kadang ada suatu SOP yang berbeda-beda mengartikannya. SOP-nya sama, selidiki daerah ini luasnya berapa ini ada, tetapi memahami SOP-nya berbeda-beda. Sehingga, keluar ada yang keluar 41, 49, dan lainnya. Itu sebenarnya membahayakan bagi penyidikan,” tuturnya.

Ia menegaskan, kelemahan mendasar yang perlu segera dibenahi adalah keseragaman data antarinstansi agar setiap proses penegakan hukum memiliki rujukan yang jelas.

“Titik lemah yang perlu dipikirkan oleh anggota ini adalah keseragaman menyuarakan data-data yang mereka miliki. Kita minta dibebaskan datanya mana,” pungkasnya. (Tubagus)