Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Soroti Perbedaan Perlakuan Satgas dalam Penerapan Denda Tambang di Kawasan Hutan

APNI Soroti Perbedaan Perlakuan Satgas dalam Penerapan Denda Tambang di Kawasan Hutan

107
0
Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah (kiri), dan Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Komjen Pol. (Purn.) Drs. Nanan Soekarna (Foto: MNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Perbedaan perlakuan dan mekanisme kerja satuan tugas (satgas) yang menangani kasus-kasus pertambangan mendapat sorotan dalam acara konsolidasi dua organisasi, hulu dan hilir, industri pertambangan nikel, yakni Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI).

Kedua organisasi ini menggelar “Konsolidasi Industri Nikel dalam Merespons Kebijakan Denda Pertambangan di Kawasan Hutan”, di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (16/12/2025). Konsolidasi tersebut diselenggarakan sebagai respons atas kebijakan denda pertambangan di kawasan Hutan yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 391.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Tarif Denda Administratif Pelanggaran Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan untuk Komoditas Nikel, Bauksit, Timah, dan Batu Bara, yang ditandatangani Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, 1 Desember 2025.

Menanggapi keluhan para peserta, Ketua Umum APNI, Komjen Pol. (Purn.) Drs. Nanan Soekarna, menyoroti adanya perbedaan perlakuan dan mekanisme kerja satuan tugas (satgas) yang menangani kasus-kasus pertambangan. Ia menanyakan, apakah satgas yang melakukan pemeriksaan dan penilaian berasal dari tim yang sama atau berbeda.

Salah satu peserta, yang perusahaannya mendapat sanksi denda, menceritakan, satgas yang turun ke lapangan terdiri dari beberapa tim dengan fungsi yang berbeda. Tim klarifikasi pertama fokus pada pemeriksaan awal, sementara tim lain—yang disebut sebagai “tim merah”—menangani persoalan izin usaha pertambangan (IUP) yang sebelumnya berstatus hak pengelolaan lahan (HPL) dan dinilai bermasalah, termasuk dugaan aktivitas ilegal, seperti illegal logging.

“Timnya beda-beda. Mereka menunjukkan foto-foto, menyampaikan keberatan kita, tapi akhirnya tetap dibuatkan surat yang lain,” ungkapnya.

Persoalan semakin kompleks, katanya melanjutkan, ketika masuk pada tahap penghitungan klasifikasi lingkungan. Menurutnya, ada perbedaan signifikan dalam hasil perhitungan nilai kerugian lingkungan yang dibebankan kepada perusahaan.

“Angkanya berubah-ubah, dari Rp66 triliun, Rp62 triliun, Rp0,38 T, sampai terakhir menjadi Rp2,3 triliun. Nilainya tetap Rp2,3 triliun, jadi kita bingung, bagaimana bisa?” katanya.

Ketua Umum APNI menegaskan pentingnya kejelasan dan keseragaman dalam pelaksanaan tugas satgas. Ia menilai, perbedaan personel dan pemahaman antarsatgas berpotensi menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap pelaku usaha.

“Saya ingin tahu, satgas yang ke perusahaan A itu sama dengan B, C, atau tidak? Ternyata beda. Orangnya beda, perlakuannya beda, pengetahuannya beda,” katanya menegaskan.

Menurutnya, APNI perlu memahami secara utuh instruksi, prosedur tetap (protap), dan kerangka kerja yang digunakan oleh masing-masing satgas agar tidak terjadi kebingungan di tingkat industri.

Nanan menegaskan, akan menampung keluhan dan masukan dari para anggota sebagai bahan data dan evaluasi APNI dalam menyikapi kebijakan tersebut. Ia juga meminta para anggota untuk menyampaikan keberatan secara resmi melalui surat kepada DPP APNI.

“Keluhan ini akan kita tampung menjadi satu bagian data. Kami mohon anggota juga bisa secara resmi membuat surat ke APNI karena kerangka itu penting,” pungkasnya di hadapan 200 peserta itu.

Acara konsolidasi ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menyatukan sikap industri nikel serta mendorong kejelasan kebijakan dan keadilan dalam penerapan sanksi pertambangan di kawasan hutan. (Shiddiq)