NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Upaya meningkatkan kualitas perencanaan penutupan tambang terus berkembang seiring meningkatnya tuntutan terhadap aspek keamanan, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Penutupan tambang menekankan pentingnya menggabungkan filosofi penutupan tambang (mine closure) sejak tahap awal desain proyek, bukan menjadikannya agenda di ujung operasi.
Business Development, Environmental, Social and Health & Safety, WPS, Frank Nijman, mengatakan, pendekatan awal dapat memberikan keuntungan strategis bagi perusahaan dalam mengelola kewajiban lingkungan dan sosial, serta meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga keuangan pendanaan proyek sehingga perusahaan tambang memperoleh manfaat signifikan jika merancang rencana penutupan sejak tahap perencanaan proyek.
“Ketika rencana penutupan dilakukan sejak awal, perusahaan dapat menyeimbangkan kepentingan bisnis dengan tuntutan lingkungan dan sosial jauh lebih baik. Jika menunggu hingga operasi hampir berakhir, tantangannya menjadi lebih besar,” katanya dalam acara Indonesia Mine Closure Conference (IMCC) 2025, di Soehana Hall, SCBD, Jakarta, Selasa (19/11/2025).

Melalui perencanaan dini, katanya melanjutkan, perusahaan dapat menyusun visi jangka panjang yang transparan kepada para pemimpin lokal, investor, dan lembaga keuangan. Hal ini menciptakan ruang diskusi sosial yang lebih konstruktif serta meningkatkan akuntabilitas perusahaan terhadap dampak jangka panjang.
Ia mengingatkan, regulasi Indonesia telah mensyaratkan reklamasi dan penutupan tambang sejak 2010, sehingga rencana penutupan harus disiapkan dan disetujui sejak awal proyek.
“Amdal, environmental and social impact assessment (EIA), serta baseline lingkungan dapat menjadi dasar penyusunan rencana penutupan yang komprehensif,” paparnya.
Namun, sebagian besar perusahaan masih menilai rencana penutupan sebagai dokumen formalitas, bukan bagian strategis dari manajemen risiko jangka panjang. Sementara itu, konsultasi publik yang dilakukan sejak fase awal lebih efektif dibandingkan konsultasi formal di akhir proyek.
“Masyarakat harus memahami skenario jangka panjang bukan hanya soal lapangan pekerjaan lima tahun ke depan, tapi juga bagaimana kondisi wilayah setelah tambang tutup,” tuturnya.
Frank menjelaskan, perusahaan yang menerapkan penutupan progresif sepanjang masa operasi mengeluarkan biaya 2,5 hingga 3 kali lebih rendah dibanding perusahaan yang menunda seluruh kegiatan penutupan hingga menjelang akhir masa tambang.
“Penutupan progresif bukan hanya mengurangi biaya, tetapi juga mengatasi masalah lingkungan secara bertahap sehingga tidak menumpuk di akhir,” katanya.
Penutupan tambang bukan sekadar akhir dari operasi, tetapi masa depan kawasan tersebut selama puluhan tahun setelahnya. Karena itu, perusahaan dituntut untuk menyusun rencana yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan kondisi hingga 30 tahun ke depan.
“Rencana penutupan 2025, 2027, atau 2029 bisa berubah tergantung dinamika operasi dan kondisi lingkungan. Itulah sebabnya konsultasi dan pembaruan rencana harus dilakukan secara berkala,” pungkasnya. (Uyun/R)


























