
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pengelolaan industri nikel di Indonesia dinilai masih terbatas pada tahap menengah (midstream), belum sepenuhnya menjangkau proses hilirisasi hingga menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti bahan baku baterai kendaraan listrik.
Hal ini disampaikan Nico Laurens, Honorary Researcher HungryStock sekaligus Head of Research Panin Sekuritas, dalam sebuah pemaparan terkini mengenai rantai pasok nikel nasional.
Menurut Nico, saat ini sebagian besar nikel di Indonesia hanya diolah hingga produk setengah jadi, seperti mixed hydroxide precipitate (MHP), belum mencapai produk akhir, seperti baterai nickel manganese cobalt (NMC) maupun katode baterai.
MHP, katanya menambahkan, merupakan salah satu output dari proses midstream yang secara biaya produksi dinilai lebih efisien dibandingkan dengan proses lanjutan, seperti high pressure acid leach (HPAL).

“Kalau dilihat di midstream itu bisa sampai NMC sampai katode. Tapi, untuk mencapai itu perlu investasi tambahan, seperti leaching, purifikasi, dan pembangunan pabrik katode. Karena itu, banyak yang memilih berhenti di MHP karena lebih murah dan lebih mudah dibanding langsung membuat sulfat atau katode,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman YouTube terbaru HungryStock, Kamis, (9/10/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa proses HPAL saat ini justru memiliki margin keuntungan yang cukup tinggi. Hal ini didorong oleh kuatnya harga nikel untuk baterai dan efisiensi operasi yang masih terjaga karena akses terhadap energi dan aset yang terjangkau.
“HPAL margin saat ini cenderung tinggi. Ini menguntungkan perusahaan seperti Vale dan Merdeka Battery. Tapi karakter keduanya berbeda,” jelasnya.
PT Vale Indonesia, menurutnya, memiliki keunggulan karena terintegrasi secara vertikal dari hulu (upstream), tengah (midstream), hingga hilir (downstream), sehingga margin bisnisnya lebih defensif. Sebaliknya, PT Merdeka Battery Materials lebih terkonsentrasi di midstream dan hilir, sehingga akan merasakan peningkatan margin jika proyek HPAL berjalan sesuai jadwal.

“Vale bisa jualan bijih nikel langsung dan jika downstream-nya bagus, itu jadi nilai tambah. Tapi, kalau kurang baik, mereka masih punya buffer. Sementara MBMA lebih bergantung pada keberhasilan proyek hilir mereka,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, dia turut menjelaskan alur pengolahan bijih nikel berdasarkan jenisnya. Saprolit, misalnya, diproses melalui RKEF untuk menjadi feronikel yang digunakan dalam industri baja nirkarat (stainless steel), yang dikenalsebagai nikel kelas dua. Sementara limonit diolah melalui HPAL untuk menghasilkan hidroksida, yang kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt, bahan dasar dari prekursor dan katode baterai.
Meski demikian, hilirisasi menyeluruh ke produk akhir seperti baterai masih terbatas, dan ekspor bahan setengah jadi masih marak terjadi.

Dengan potensi nikel Indonesia yang sangat besar, Nico menekankan pentingnya pembangunan rantai nilai yang terintegrasi dari hulu hingga hilir agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga pemain utama dalam industri kendaraan listrik global. (Shiddiq)