
NIKEL.CO.ID, JIMBARAN, BALI – Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menekankan pentingnya kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam mendukung proyek-proyek strategis mineral kritis di Indonesia.
Hal itu disampaikannya dalam sesi panel diskusi International Critical Mineral and Metals Summit 2025 (ICMMS 2025), yang diselenggarakan oleh Fastmarkets di Intercontinental Resort Hotel, Jimbaran, Bali, Kamis (25/9/2025).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan langsung atas pertanyaan yang diajukan oleh Vice Chairman Djakarta Mining Club, Ben Lawson, yang menyoroti perlunya kerja sama lintas sektor dalam mengurangi risiko investasi pada proyek mineral dan logam yang nilainya mencapai miliaran dolar AS.
“Bagaimana kita bisa mendapatkan kemitraan publik-swasta, atau bahkan bentuk kerja sama lainnya, untuk membantu mengurangi risiko dalam proyek-proyek ini? Jelas, tanpa dukungan pemerintah, kita tidak bisa melakukannya sendiri. Apa pandangan Anda dan apa yang dikatakan para anggota IMA?” tanya Ben Lawson kepada Hendra.

Menanggapi hal tersebut, Hendra menyatakan bahwa pendekatan pembiayaan campuran (blended finance) dan mekanisme pembagian risiko merupakan dua hal yang perlu segera dipertimbangkan, khususnya dalam mendukung pembiayaan proyek-proyek tambang yang bersifat jangka panjang dan padat modal.
“Saya pikir pembagian risiko juga harus dipertimbangkan, termasuk pembiayaan campuran. Danantara juga salah satu harapan kita. Jadi, ya, pembiayaan campuran dan pembagian risiko sangat penting,” ujarnya.

Ia juga menyoroti peran bank-bank milik negara yang menurutnya belum sepenuhnya berfungsi sebagai katalis pembiayaan proyek karena belum memiliki pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan industri pertambangan.
“Bank terbesar kita adalah milik negara. Saya ingin melihat tenor dan suku bunga yang lebih baik. Saat ini, mereka belum beroperasi seperti bank yang benar-benar mendukung proyek. Masih ada persoalan mindset yang belum berkembang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hendra juga mengkritik kebijakan retensi ekspor yang mengharuskan perusahaan menahan 100% devisa hasil ekspor (DHE) selama setahun. Menurutnya, kebijakan ini menimbulkan beban tambahan bagi pelaku usaha, terutama dalam hal likuiditas.
“Secara praktis, untuk menjalankan kegiatan bisnis, kami harus meminjam uang dari bank dan menjaminkan dana ekspor kami sendiri. Artinya, kami seperti meminjam uang kami sendiri hanya untuk bisa menjalankan investasi,” tegasnya.

Diskusi ini menjadi bagian penting dalam forum ICMMS 2025 yang mempertemukan para pelaku industri, regulator, dan pemangku kepentingan global untuk membahas tantangan serta peluang dalam rantai pasok mineral kritis, termasuk pembiayaan, regulasi, dan keberlanjutan investasi. (Shiddiq/Tubagus)