
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Industri nikel nasional tengah menghadapi tekanan berat akibat kenaikan biaya produksi, regulasi yang tidak konsisten, dan pasokan bahan penunjang yang terbatas.
Hal ini mengemuka dalam diskusi strategis bertajuk “Isu Terkini Industri Nikel Indonesia” yang diselenggarakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bersama Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Diskusi ini mempertemukan berbagai pelaku usaha industri nikel untuk menyampaikan keluhan sekaligus usulan solusi kepada pemerintah.

Perwakilan dari PT Wanatiara Persada, Gunadi mengungkapkan terkait persoalan regulasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dinilai tidak konsisten dan menyulitkan pelaku usaha.
“RKAB dulu berlaku tiga tahun, sekarang hanya satu tahun. Prosesnya panjang, dan untuk apply tahun depan, harus sudah daftar ulang sejak Agustus tahun ini. Sangat mepet waktunya,” ungkap Gunadi dalam sesi diskusi.

Menurutnya, smelter miliknya yang berlokasi di Pulau Obi Halmahera Selatan, Maluku Utara, sudah mulai “mengap” karena tekanan ekonomi.
“Kapasitas kami 200 ribu ton per tahun, tapi kami tidak yakin bisa bertahan lewat tahun ini,” ujarnya blak-blakan.
Ia menyebut perusahaan saat ini mengoperasikan enam jalur produksi, namun hanya sebagian yang berjalan optimal.

Masalah lain yang mencuat adalah kenaikan biaya sulfur dan keterbatasan bahan pendukung seperti kokas dan soda kaustik. Beberapa perusahaan mengeluhkan pasokan bahan baku tersebut untuk smelter high pressure acid (HPAL) yang sedang mengalami kenaikan drastis, sehingga menambah beban biaya operasional.
“Sekarang mencari sulfur sulit sekali. Kami sangat tergantung pada pasokan dari dalam negeri, sementara harganya melonjak dan barangnya terbatas,” katanya.

Selain itu, Presiden Direktur PT Harita Nickel, Roy Arman Arfandy juga menyampaikan persoalan eksternal seperti gangguan dari masyarakat sekitar (LSM) juga turut disoroti. Komitmen perusahaan terhadap program manufaktur tidak selalu diterima baik oleh warga.
“Kami sering kali sudah berkomitmen, tapi tekanan sosial sangat besar, terutama setelah isu-isu menyebar di media,” ujar Roy dalam diskusi tersebut.
Isu hukum juga menjadi perhatian serius para pelaku usaha. Mereka merasa ketidakjelasan ruang lingkup pengawasan hukum memperbesar ketidakpastian bisnis.

“Kami belum tahu scope bisnis yang diperbolehkan seperti apa. Kami jadi tidak bisa fokus ke pengembangan usaha karena lebih banyak introspeksi soal mana yang boleh dan tidak,” jelas Roy yang juga Presdir PT Trimegah Bangun Persada.
Acara ini ditutup dengan ajakan kepada pemerintah untuk membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan responsif terhadap kebutuhan industri. APNI dan FINI menyatakan akan menyampaikan hasil diskusi ini kepada kementerian terkait untuk ditindaklanjuti dalam kebijakan yang lebih adaptif. (Shiddiq)