
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Harga Patokan Mineral (HPM) nikel kembali mengalami penurunan pada Juli 2025 periode kedua. Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga nikel kadar 1,8% dengan Moisture Content (MC) 30% tercatat sebesar US$35,73 per wet metric ton (WMT), turun tipis dari periode sebelumnya yang sebesar US$35,73/WMT.
Harga HPM nikel ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu pada Kepmen ESDM No. 2946K/30/MEM/2017, dan untuk periode ini diperbarui melalui Kepmen ESDM No. 244.K/MB.01/MEM.B/2025.
Penurunan harga tercatat di hampir seluruh kadar nikel. Untuk kadar 1,8% dengan MC 35%, harga turun menjadi US$33,18/WMT, dibanding sebelumnya US$33,18/WMT.

Tren penurunan harga ini perlu disikapi serius. Hal ini karena penurunan harga dinilai mengindikasikan bahwa formula HPM saat ini tidak lagi relevan dengan kondisi pasar.
APNI mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi. Estimasi menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey memaparkan bahwa peningkatan penerimaan negara tanpa perlu menaikkan tarif royalti;
Pertama, meningkatnya margin usaha bagi perusahaan tambang untuk eksplorasi dan pengelolaan lingkungan. Kedua, peningkatan cadangan akibat penurunan cut-off grade. Ketiga, kenaikan nilai ekspor produk hilir seperti NPI dan feronikel. Keempat, insentif pengembangan teknologi ekstraksi dan hilirisasi mineral ikutan, seperti besi dan kobalt.

APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor (CF) HPM untuk feronikel yang kini tidak lagi relevan, serta penyesuaian satuan transaksi dari US$/DMT ke US$/ton nikel murni atau US$/nikel unit sesuai praktik pasar internasional.
“APNI tetap berkomitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan. Diharapkan, pemerintah bersedia membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi kebijakan PP No. 19 Tahun 2025 dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif,” papar Meidy.
APNI mendorong pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh, agar penambang lokal tidak semakin tertekan.
Harga tertinggi pada periode ini tercatat pada nikel kadar 2,0% MC 30% yang mencapai US$43,88/WMT, dan US$40,75/WMT untuk MC 35%.

APNI juga mengingatkan bahwa tanpa evaluasi, keberlangsungan usaha penambangan nasional bisa terganggu. Banyak penambang sudah berada di titik kritis karena harga jual tidak menutupi biaya produksi. Pemerintah harus hadir dan melindungi pelaku usaha dalam negeri.
APNI juga berharap Kementerian ESDM segera membentuk tim bersama pelaku industri untuk menyesuaikan formula HPM, agar lebih mencerminkan realitas biaya dan nilai pasar nikel saat ini. (Shiddiq)