NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dirty nickel dan bloody nickel adalah dua stigma yang tersemat di industri nikel Indonesia. Kedua sematan negatif ini coba dihapus oleh pelaku industri nikel, pemerintah, dan stakeholder lainnya dengan penerapan standar praktik pertambangan yang baik dan berkelanjutan (sustainability).
Ketua Indonesian Mining Institute, Prof. Irwandy Arif, menegaskan pentingnya menjaga kualitas dan tata kelola yang baik dalam pertambangan nikel di Indonesia. Hal itu diungkapkannya saat menjadi narasumber pada CNBC Live, Selasa (8/7/2025). Ia mengungkapkan, ada berbagai standar yang perlu diperhatikan, tidak hanya Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), tetapi juga ISO 14001 dan ISO 45001.
Selain itu, ada Responsible Mineral Initiative (RMI) dan Responsible Mineral Assurance Process (RMAP). Standar-standar tersebut berfungsi untuk meningkatkan kredibilitas dan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan tambang nikel Indonesia.
“Perusahaan besar sudah mulai menerapkan sertifikasi selain IRMA meskipun tanpa kewajiban. Ini menunjukkan kesadaran mereka dalam mengikuti Good Mining Practice (GMP) serta Sustainable Development Goals (SDG) untuk memperhatikan lingkungan dan keselamatan pekerja,” ujar Prof. Irwandy
Ia menekankan, langkah-langkah itu penting untuk memperbaiki persepsi publik dan meningkatkan kepercayaan terhadap industri nikel Indonesia di mata dunia. Meskipun tantangan untuk menerapkan standar yang tepat masih berat, upaya untuk melangkah ke arah yang lebih baik harus tetap dilakukan.
Ia juga percaya bahwa masa depan industri nikel Indonesia tetap cerah, kendati beberapa rotary kiln electric furnace (RKEF) saat ini harus ditutup sementara.
“Ini adalah hukum alam dan perusahaan akan melakukan respons untuk memastikan mereka tidak rugi. Produksi nikel Indonesia kini mayoritas mengarah ke industri besi baja, tetapi kita masih membutuhkan jalur ketiga, yaitu nikel murni untuk industri maju,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, juga perlu mengambil langkah tegas dengan menetapkan kebijakan yang lebih komprehensif dan menyesuaikan dengan perkembangan industri, termasuk perbaikan dalam koordinasi antarkementerian terkait.
“Saya mengusulkan agar pemerintah membedah masalah ini secara komprehensif dan menetapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi saat ini dan yang akan datang. Kerja sama antara kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian sangat penting, dengan fokus pada pengembangan industri nikel yang berkelanjutan,” jelasnya.
Di samping itu, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar pengembangan industri nikel Indonesia berjalan dengan baik, yaitu percepatan transisi ke smelter bersih, pengurangan emisi karbon, dan evaluasi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang tepat.
Ia menceritakan pengalamannya saat berada di Jepang. Nikel matte dari Vale diolah menjadi nikel murni yang digunakan untuk industri pesawat terbang. Tentu saja harga menjadi sangat tinggi. Ini menunjukkan potensi besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia jika industri nikel dapat dikelola dengan lebih serius dan berkelanjutan.
“Kita harus serius dalam mengelola nikel. Jika tidak, kita akan tetap berada di tempat yang sama,” tutupnya. (Lili Handayani)