NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Memasuki awal bulan Juli 2025, pemerintah kembali menetapkan Harga Mineral Acuan (HMA) nikel untuk periode pertama dengan tren penurunan tipis dibanding periode sebelumnya.
Berdasarkan keputusan terbaru yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), HMA nikel ditetapkan sebesar Rp14.942 per dry metric ton (dmt), atau sedikit lebih rendah dibanding periode kedua bulan Juni lalu.
Penurunan harga juga tercermin pada berbagai kadar dan spesifikasi bijih nikel yang dijual berdasarkan persentase kadar logam serta kadar kadar moisture content (MC).
Untuk kadar nikel 1,6% dengan CF 17% dan MC 30 persen, harga FOB per wet metric ton (wmt) ditetapkan sebesar US$28,45, turun dari sebelumnya US$28,98. Sedangkan pada MC 35 persen, harganya juga melemah menjadi US$26,42, dari US$26,91 minggu lalu.
Penurunan serupa juga terjadi pada kadar nikel 1,7% (CF 18%). Dengan kadar air 32 persen, harga ditetapkan sebesar US$32,01, turun dari US$32,60. Untuk kadar air 35%, harga minggu ini menjadi US$29,72, juga menurun dari sebelumnya US$30,27.
Sementara itu, pada kadar nikel 1,8% (CF 19%), harga untuk MC 30% kini berada di US$35,77, dari US$36,44 minggu lalu. Untuk MC 35%, harga turun ke US$33,22, dibanding sebelumnya US$33,84.
Untuk kadar yang lebih tinggi, yakni 1,9% (CF 20%), harga juga menunjukkan tren melemah. Harga MC 30% ditetapkan US$39,75, dari US$40,49 pada periode sebelumnya, dan MC 35% menjadi US$36,91, dari US$37,60.
Harga tertinggi pada periode ini, yaitu untuk kadar nikel 2,0% (CF 21%), mengalami koreksi menjadi US$43,93 untuk MC 30%, turun dari US$44,75, dan US$40,79 untuk MC 35%, dari sebelumnya US$41,55.
Penurunan tipis HMA nikel di awal Juli ini mencerminkan tekanan pasar yang masih membayangi industri nikel global. Kelebihan pasokan bijih nikel dari berbagai negara produsen termasuk Indonesia, serta penurunan harga nikel global di London Metal Exchange (LME), menjadi dua faktor utama yang mempengaruhi koreksi harga.
Selain itu, masih lemahnya permintaan dari sektor hilir seperti industri stainless steel dan baterai kendaraan listrik juga menahan laju pemulihan harga.
Di sisi lain, sejumlah smelter di Indonesia dilaporkan mulai memperlambat kegiatan produksi akibat margin yang terus menipis, terutama pabrik berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang terdampak oleh lonjakan biaya sulfur.
Sebagai informasi, penetapan Harga Mineral Acuan ini merujuk pada Kepmen ESDM No. 2946/30/MEM/2017, yang merupakan formula acuan untuk perhitungan harga bijih nikel berdasarkan kadar dan spesifikasi lainnya.
Harga HMA juga menjadi dasar dalam perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM) untuk transaksi bijih nikel di dalam negeri, sesuai ketentuan yang tercantum dalam Kepmen ESDM No. 217.K/MEM.B/2025.
Meskipun koreksi harga pada awal Juli ini tergolong ringan, pelaku industri tetap harus bersiap menghadapi dinamika pasar yang tidak menentu. Diperlukan efisiensi biaya dan strategi keberlanjutan yang lebih kuat agar industri nikel nasional tetap kompetitif di tengah tekanan global yang masih berlangsung. (Lili Handayani)